Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Dimensi Kompetensi

Oliver (1997) memberikan perhatian pada sumberdaya strategis dan berargumen bahwa sumberdaya yang menghasilkan kompetensi haruslah langka, unik, khusus, tak berwujud, sulit ditiru diganti dan sulit ditiru.

Meyer and Utterback (1993) menekankan peran penting kompetensi teknologi, penelitian dan pengembangan, kompetensi produksi dan manufaktur, serta kompetensi pemasaran. 

Selanjutnya Hamel and Heene (1994) membagi kompetensi menjadi kompetensi aksespasar, kompetensi yang berkaitan dengan integrasi, dan kompetensi dikaitkan dengan fungsionalitas.

Hall (1994) percaya bahwa kemampuan fungsional, budaya, posisi, dan pengaturan sebagai pembentuk dan penentu keunggulan perusahaan secara keseluruhan.

Barney (1991) menyajikan struktur yang lebih konkret dan komprehensif untuk mengidentifikasi pentingnya  kompetensi untuk  memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Barney (1991) mengutarakan empat indikator sehingga kompetensi yang dimiliki perusahaan dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan, yakni: bernilai (valuable), merupakan kompetensi langka diantara perusahaan-perusahaan yang ada dan pesaing potensial (rare), tidak mudah ditiru (inimitability), dan tidak mudah digantikan (nonsubstitutability). 

1. Bernilai (valuable)

Kompetensi bernilai (valuable competencies) adalah kompetensi yang menciptakan nilai bagi suatu perusahaan dengan mengeksploitasi peluang-peluang atau menetralisir ancamanancaman dalam lingkungan eksternal perusahaan. Kompetensi dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan hanya ketika kompetensi tersebut bernilai (valuable). Kompetensi dikatakan bernilai ketika kompetensi tersebut menyebabkan perusahaan mampu menyusun dan mengiplementasikan strategistrategi yang dapat meningkatkan nilai bagi pelanggan khususnya

2. Langka (rareness)

Kompetensi langka adalah kompetensi yang dimiliki oleh sedikit, jika ada, pesaing saat ini atau potensial. Kompetensi perusahaan yang bernilai namun dimiliki oleh sebagian besar pesaing yang ada atau pesaing potensial tidak dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Sebuah perusahaan dikatakan menikmati keunggulan bersaing ketika perusahaan tersebut dapat mengimplementasikan strategi penciptaan nilai yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya. Dengan kata lain, keunggulan bersaing dihasilkan hanya  ketika perusahaan mengembangkan dan mengeksploitasi kompetensi yang berbeda dari pesaingnya. Jika kompetensi yang bernilai tadi dimiliki oleh sebagian besar perusahaan, dan tiap-tiap perusahaan memiliki kemampuan untuk menggunakannya dengan cara dan teknik yang sama, dan selanjutnya mengimplementasikan strategi yang hampir sama maka dapat dikatakan tidak ada satupun perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing.

3. Sulit Ditiru (Inimitability)

Kompetensi yang bernilai dan langka tersebut hanya dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan jika perusahaan lain yang tidak memilikinya, tidak dapat memperoleh kompetensi tersebut.

Dalam istilah yang dibangun oleh Lippman and Rumelt (1982) dan Barney (1986a), kompetensi ini disebut sangat sulit ditiru (imperfectly  imitable). Kompetensi dapat dikatakan sulit ditiru karena satu atau kombinasi dari tiga alasan berikut: 

a.  Kemampuan perusahaan untuk memperoleh kompetensi tergantung pada kondisi historis yang unik. Ketika perusahaan berevolusi, mereka mengambil keahlian, kemampuan, dan sumberdaya yang unik bagi mereka, mencerminkan jalan setapak yang dilalui dalam sejarah (Barney, 1995). Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa kadang-kadang perusahaan  mampu mengembangkan kompetensi karena berada pada tempat yang tepat dan saat yang tepat (Barney, 1999).

b.  Hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan dengan keunggulan bersaing yang berkesinambungan bersifat ambigu (causally ambiguous). Para pesaing tidak mampu memahami dengan jelas bagaimana suatu perusahaan menggunakan kompetensi intinya sebagai dasar dari keunggulan bersaingnya. Akibatnya para pesaing tidak pasti tentang kompetensi-kompetensu yang harus mereka kembangkan untuk meniru manfaat dari strategi penciptaan nilai perusahaan yang disainginya itu.

c. kompetensi yang menghasilkan keunggulan perusahaan tersebut bersifat kompleksitas sosial (socially complex). Kompleksitas sosial berarti bahwa setidaknya beberapa, dan sering kali banyak, kompetensi perusahaan adalah produk dari fenomena sosial yang kompleks. Contoh kompetensi yang kompleks secara sosial meliputi relasi antar pribadi, kepercayaan, dan persahabatan di antara manajer dan antar manajer dengan pegawai serta reputasi perusahaan dengan pemasok dan pelanggan.

4.   Sulit Digantikan (Insubstitutability)

Kompetensi yang sulit digantikan adalah kompetensi yang tidak memiliki ekuivalen strategis. Dua sumberdaya perusahaan yang bernilai (atau dua kumpulan sumberdaya perusahaan) ekuivalen secara strategis ketika tiap sumberdaya itu dapat dieksploitasi secara terpisah untuk mengimplementasikan strategi-strategi yang sama. Secara umum, nilai strategis dari kompetensi meningkatkan kesulitan untuk menggantikannya. Semakin tidak terlihat suatu kompetensi, semakin sulit bagi perusahaan untuk mencari penggantinya dan semakin besar tantangan bagi para pesaing untuk meniru strategi penciptaan nilai perusahaan. 

Keunggulan bersaing sebuah perusahaan harus didasarkan pada sumberdaya khusus yang menjadi penghalang (barriers) aktivitas peniruan dan ancaman pengganti (imitation and substitution) produk atau jasa perusahaan. Meningkatnya tekanan persaingan dapat menurunkan keunggulan bersaing perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa bagi sebuah perusahaan, agar tetap bertahan hidup (survive) di tengah tekanan persaingan yang semakin tajam, perusahaan harus mengambil tindakan yang dapat mempertahankan dan  memperkuat kompetensinya yang unik (Reed and DeFillipi, 1990). Sumberdaya dan kompetensi perusahaan dapat ditempatkan dalam sebuah kontinum untuk melihat bahwa sumberdaya dan kampetensi tersebut tahan lama dan tidak dapat ditiru

Prahalad and Hamel (1989) menemukan bahwa perusahaan yang sukses adalah perusahaan yang berfokus pada peningkatan kompetensi, yang digunakan dengan cara-cara baru dan inovatif untuk mencapai tujuan. Perhatian utama perusahaan adalah menggunakan sumberdayanya dalam cara-cara yang menantang dan kreatif untuk membangun kompetensi inti. 

Kompetensi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja perusahaan (Absah, 2007). Perusahaan yang memiliki tim manajemen dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain yang tidak dapat melakukannya.  Dengan kompetensi superior akan memungkinkan perusahaan memperoleh informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya.

Dengan demikian, perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi, akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan dengan kompetensi superior dapat memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya. Agar dapat mempertahankan keunggulan bersaing tersebut, kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan.

Menurut Godfrey and Hill (1995), kompetensi yang tidak mudah ditiru merupakan inti (poros) dari teori resource-based, dan sentral pemahaman mengenai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Dierickx and Cool, 1989; Spender and Grant, 1996).

Selanjutnya Pace et al. (2005) menemukan bahwa kompetensi yang sulit ditiru memiliki hubungan yang positif dengan kinerja.  Kompetensi mungkin dilindungi dari peniruan dengan berbagai cara. Kompetensi yang berasal dari faktor sejarah seperti lokasi yang strategis, kepemilikan hak cipta, akan melindungi sumberdaya bernilai tersebut dari tindakan peniruan oleh pesaing. Sumberdaya yang bersifat socially complex, seperti reputasi yang baik dan kepercayaan merupakan sumberdaya yang membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi untuk ditiru.

Terakhir, causal ambiguity merupakan ambiguitas mengenai hubungan antara kompetensi perusahaan dengan keunggulan bersaing (Reed and DeFillipi, 1990; Barney, 1991) akan melindungi kompetensi dari usaha peniruan (Lippman and Rumelt, 1982; Dierickx and Cool, 1989; Barney, 1991). Causal ambiguity akan melindungi kompetensi dari usaha peniruan karena pesaing tidak mengerti hubungan antara kompetensi ini dengan keunggulan bersaing.

Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu kompetensi yang sulit ditiru. Pengetahuan akan menjadi kompetensi yang sulit untuk ditiru karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang dimiliki perusahaan akan menjadi menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi kinerja superior. Seperti juga yang ditemukan oleh Hatch and Dyer (2004) bahwa pesaing tidak dapat dengan cepat dan murah meniru atau mengganti nilai dari sumberdaya manusia khusus yang dimiliki perusahaan.

Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa keunggulan bersaing akan berlanjut bila didasar pada sumberdaya manusia yang tak berwujud dan bersifat socially complex (Arthur, 1994; Huselid, 1995; Kock and McGrath, 1996).    Causal ambiguity dijelaskan dalam literatur dengan dua cara berbeda. Pertama, linkage ambiguity adalah ambiguitas diantara pengambil keputusan mengenai hubungan antara kompetensi dengan keunggulan bersaing (Lippman and Rumelt, 1982; Barney, 1991). Kedua, characterictic ambiguity yang difokuskan pada karakter dari kompetensi, yang sekaligus merupakan sumber keunggulan dan ambiguitas.

Characterictic ambiguity  adalah ambiguitas yang melekat pada sumberdaya itu sendiri Ketertutupan (tacitness) merupakan salah satu karakteristik causally ambiguity (Reed and DeFillippi, 1990; Barney, 1995; Godfrey and Hill, 1995; Hart, 1995; Szulanski, 1996; Inkpen and Dinur, 1998; Simonin, 1999). Tacitness merefleksikan bahwa sebuah kompetensi adalah “intuitif, non-verbal dan tidak terucapkan” (Hedlund and Nonaka, 1993:118). Tacit knowledge lebih ambigu dibandingkan articulates atau explisit knowledge (Winter, 1987; Reed and DeFillippi, 1990; Kogut and Zander, 1992). Pengetahuan eksplisit dijabarkan sebagai “formal, sistematik dan tujuan yang ditunjukkan dalam kata atau angka“ (Baker et al., 1997). Pengetahuan eksplisit dapat diturunkan dari sejumlah sumber yang meliputi data, proses bisnis, kebijakan dan prosedur, serta sumber eksternal seperti informasi pasar (Baker et al., 1997). Sedangkan pengetahuan tacit berupa pengetahuan, pengalaman, keahlian, model mental, intuisi dan kepercayaan (Baker et al., 1997), yang sangat dinamis dan khusus (Martensson, 2000; Tsoukas and Vladimirou, 2001).

Kompetensi juga dikarakteristikkan sebagai causally ambiguous ketika kompetensi tersebut berada dalam budaya dan nilainilai organisasi (Masakowski, 1997) karena kompetensi yang berada dalam budaya mungkin lebih pasti dan kurang mobile dibandingkan dengan pengetahuan yang berada pada individu atau sekelompok kecil. Itami and Roehl (1987) menyatakan bahwa elemen kunci strategi adalah mengelola aset-aset tak bewujud (seperti keahlian, reputasi, dll.).

Penelitian yang dilakukan oleh Bharadwaj et al. (1993) menemukan bahwa keunggulan bersaing sangat penting dalam mencapai kinerja superior pada perusahaan jasa. Dimana keunggulan bersaing dapat diperoleh dengan memiliki seperangkat keahlian dan kompetensi yang unik sehingga sulit ditiru oleh para pesaing. Dukungan juga diberikan oleh Mehra (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sumberdaya yang dimiliki perusahaan dengan kinerja yang lebih tinggi.

Selanjutnya hasil penelitian Pace et al. (2005) menemukan bahwa berdasarkan pendekatan Resource-Based View (RBV), penyebab utama perbedaan kinerja diantara perusahaan adalah karena perbedaan sumber-sumberdaya khusus dan akumulasi kompetensi yang dimiliki perusahaan. Penelitian ini menguji hubungan antara kinerja persaingan dengan sumberdaya strategis yang dimiliki perusahaan.

Melalui metodologi riset yang dibangun oleh Rudolphe Durand, diperoleh hasil yang memuaskan mengenai hubungan antara tingkat pengaruh kompetensi dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi yang semakin sulit untuk ditiru (imitability) dan semakin sulit untuk dipindahkan (immobility) menyebabkan profitabilitas, margin dan kinerja pasar yang lebih tinggi.

Ditemukan bahwa kompetensi yang sulit ditiru memiliki hubungan yang positif hanya dengan kinerja pasar (market performance). Sedangkan kompetensi yang sulit untuk dipindahkan (immobility) ditemukan memiliki hubungan positif dengan profitabilitas dan berhubungan negatif dengan margin. Hasil studi ini juga konsisten dengan Pace et al. (2005). yang menemukan adanya hubungan antara profitabilitas dengan sumberdaya dan bagaimana mengelolanya.

O’Regan and Ghobadian (2004) juga menemukan bahwa kompetensi perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap strategi dan pencapaian kinerja secara keseluruhan. Namun demikian studi yang dilakukan Fernandes et al. (2005) yang berjudul resources that drive performance: an empirical investigation memberikan hasil yang berbeda.

Fernandes et al. melakukan penelitian pada perusahaan air minum Brazil mengenai sumberdaya yang menghasilkan kinerja perusahaan berdasarkan praktek sumberdaya manusia, kompetensi karyawan dan sumberdaya berwujud lainnya serta melakukan evaluasi kinerja berdasarkan model Balanced-Scorecarad. Fernandes et al. menemukan bahwa secara umum sumberdaya memiliki pengaruh terhadap kinerja, namun bila bila diteliti lebih jauh maka ditemukan bahwa kompetensi karyawan justru tidak berpengaruh terhadap kinerja; faktor-faktor lingkungan yang dikaitkan dengan permintaan merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi kinerja; serta kepuasan karyawan berpengaruh pada semua perspektif BSC.

Daftar Pustaka

Absah, Yeni, 2007. Pengaruh Pembelajaran Organisasi,  Kompetensi, dan Tingkat Diversifikasi terhadap Kinerja Perguruan Tinggi Swasta di Sumatera Utara, Disertasi, Surabaya, Universitas Airlangga.

Barney, J.B., 1986a. Strategic Factor Markets: Expectations, Luck and Business Strategy, Management Science, Vol.32, pp.1231-1241.     

Bogner, W.C. and H. Thomas, 1994. Core Competences and Competitive Advantage: A Model and Illustrative Evidence from Pharmaceutical Industry, in Hamel, G. and W. Heene (Eds.), Competences-based Competition, New York: John Wiley & Sons.

Capron L. and J. Hulland, 1999. Redeployment of Brand, Sales Forces and General Marketing Management Expertise Following Horizontal Acquisitions: A Resource-based View, Journal of Marketing, Vol.63, April, pp.4154.

Fleisher, C.S and B.E. Bensoussan, 2003. Strategic and Competitive Analysis: Methods and Techniques for Analysis Business Competition, New York: Prentice-Hall, Englewood Cliffs. 

Godfrey, P.C. and C.W.L. Hill, 1995. The Problem of Un-observables in Strategic Management Research, Strategic Management Journal, Vol.16, No.9, pp.519-533.

Grant, R.M., 1991. The Resource-Based Theory of Competitive Advantage: Implications for Strategy Formulation, California Management Review, spring, pp.114-135.    

Hall, R., 1994. A Framework for Identifying the Intangible Sources of Sustainable Competitive Advantages, in Hamel G. and A. Heene (Eds), Competence-based Competition, Chichester: John Willey & Sons.

Hamel, G. and A. Heene, 1994. Competence-based Competition, Chichester: John Willey & Sons.

Huselid, M.A., 1995. The Impact of Human Resource Management Practices on Turnover, Productivity,  and Corporate Financial Performance, Academy of Management Journal, Vol.38, No.3, pp.635-672. 

Inkpen, A.C. and A. Dinur, 1998. Knowledge Management Process and International Joint Ventures, Organization Science, Vol.9, pp.454-468.

Lippman S. and R. Rumelt, 1982. Uncertainty Immitability: An Analysis of Interfirm Differences in Efficiency under Competition, Bell Journal of Economics, Vol.13, pp.418430.

Martensson, M., 2000. A Critical Review of Knowledge Management as a Management Tool, Journal of Knowledge Management, Vol.4, No.3, pp.204-216.

Meyer, M.H. and J.M. Utterback, 1993. The Product Family and the Dynamics of Core Capability, Sloan Management Review, Vol.34, No.3, pp.29-47. Oliver, C., 1997.

Pace, E.S. Ulrich, D. Meirelles and L. Creuz Basso, 2005. The Contributions of Specific Resources from the Firm in its Competitive Performance: A Resource-Based View Approach in the Software Sector, Working Paper Series, Sao Paulo: Mackenzie Presbiterian University. Peteraf, M.A., 1993.

Prahalad, C.K. and G. Hamel, 1989. Strategic Intent, Harvard Business Review, May-June, pp. 6376. , 1990.

Reed, R. and R.J. DeFillippi, 1990. Causal Ambiguity, Barriers to Imitation and Sustainable Competitive Advantage, Academy of Management Review, Vol.15, No.1 (January), pp.88-102.

Spender J.C. and R.M. Grant, 1996. Knowledge and the Firm: Overview, Strategic Management Journal, Winter Special, Issue 17, pp.5-9. 

Teece, D.T., G. Pisano and A. Shuen, 1997. Dynamic Capability and Strategic Management, Strategic Management Journal, Vol.18, No.7, pp.509-533

Tuominen, M., K. Moller and A. Rajala, 1997. Marketing Capability: A Nexus of Learningbased Resources and Prerequisite for Market Orientation, Proceedings of the Annual Conference of the European Marketing Academy, May, pp.1220-1240.

Wernerfelt, B., 1984. A Resource-Based View of the Firm, Strategic Management Journal, Vol.5, pp.171-180.

Wheelen, T.L. and J. David Hunger, 2002. Strategic Management and Business Policy. Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall. 

Williams, J.R., 1992. How Sustainability is Your Competitive Advantage?  California Management Review, Spring, p.33.

Winter, S.G., 1987. Knowledge and Competence as Strategic Assets, The Competitive Challenge: Strategies for Industrial Innovation and Renewal, Teece, D.T. (ed.), Cambridge, MA: Ballinger

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Dimensi Kompetensi"

Post a Comment