Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Masihkah meragukan kekuatan pulpen warna terhadap peningkatan motivasi membaca siswa?

Warna dapat menghidupkan suasana, warna mampu merubah sesuatu menjadi bernilai. Alam disekitar kita merupakan perpaduan dari berbagai macam warna, itulah yang membuat kita tidak pernah merasa bosan dan jenuh hidup di dunia ini. Bagaimana dengan rumah kita? Rumah akan semakin menarik apabila terjadi perpaduan warna pada dinding dan semua perabot rumah. Biasanya merupakan warna kesukaan kita, dengan harapan dapat membuat betah pemiliknya untuk tinggal berlama-lama di dalam rumah.

Hakikat manusia pada prinsipnya menyukai keindahan, sehingga semua yang berkaitan dengan aktivitas manusia diupayakan memiliki nilai seni atau mengandung nilai-nilai estetika. Begitu pula dengan proses pembelajaran, harus selalu memperhatikan nilai seni mulai dari ruang belajar, keterampilan mengajar, keterampilan pengelolaan kelas sampai dengan hal-hal kecil yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

Membaca merupakan salah satu unsur dari belajar, membaca adalah suatu kegiatan yang wajib dilakukan oleh siswa guna menambah ilmu pengetahuan sehingga akan berimplikasi pada peningkatan kompetensi siswa. Saat ini pemerintah sedang membiasakan siswa untuk selalu membaca melalui gerakan literasi.

Mendorong siswa untuk membaca tidaklah mudah apalagi membaca buku catatan yang diberikan oleh guru. Catatan yang memuat materi pelajaran biasanya membosankan bagi siswa, dan inilah masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Berbagai cara telah dilakukan hanya untuk menemukan solusi yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan prestasi belajar siswa. Maka kemudian, guru diwajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah, karya tulis yang mengangkat permasalahan-permasalahan yang terjadi seputar proses pembelajaran. Ada ribuan karya tulis tentang upaya peningkatan belajar siswa dan hasil belajar siswa namun dari ribuan tersebut belum dapat mengerucut menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat mutlak untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Diawal saya sudah mengaitkan tulisan ini dengan pengaruh warna dalam kehidupan. Berdasarkan pemahaman tersebut maka kemudian mendorong saya untuk melakukan penelitian tentang warna dalam pembelajaran. Mengambil tema “Pengaruh buku catatan siswa dengan menggunakan pulpen warna terhadap peningkatan motivasi membaca”, maaf judulnya mungkin tidak memenuhi unsur penulisan karya tulis ilmiah tetapi karena penelitian ini motivasi awalnya hanya untuk kebutuhan pribadi sehingga yang diharapkan hanyalah hasilnya semata bukan bagaimana kualitas penyajiannya.

Pengambilan data penelitian yang saya lakukan menggunakan sistem kuesioner yang dilakukan secara random. Jumlah sampel yang saya teliti adalah 100 orang siswa, semuanya adalah siswa di kelas yang saya ajar. Tahap pertama saya bagikan lembaran kuesioner yang salah satu pertanyaannya adalah “berapa kali dalam sehari anda membuka buku catatan pelajaran dirumah?” atau “berapa kali dalam seminggu anda membuka buku catatan pelajaran dirumah?”. Sekitar 40% menjawab satu kali, 56% pada saat menghadapi ujian atau ulangan dan sisanya tidak pernah sama sekali.

Berdasarkan hasil tersebut di atas, saya mencoba merubah kebiasaan mereka yang menulis buku catatan hanya menggunakan pulpen warna hitam dengan memberi kebebasan untuk menulis buku catatan sesuai dengan warna kesukaan mereka. Keputusan tersebut mendapat respon yang luar biasa dari siswa, mereka sangat senang dan bahagia mendengar informasi yang saya berikan. Pada pertemuan berikutnya, para siswa telah menyiapkan berbagai macam pulpen dengan segala macam warna. Kemudian saya coba memberikan sejumlah catatan barupa materi pelajaran yang harus mereka kuasai. 

Dalam pantauan saya, mereka sangat tertarik menulis, aneka macam model dan kreasi tulisan ditunjukkan, tentunya dengan memanfaatkan sejumlah pulpen warna yang mereka miliki. Hal ini berlangsung selama 2 kali pertemuan, bahkan sampai dengan hari ini mereka terus meminta diberikan catatan materi pelajaran, artinya motivasi menulis mereka meningkat jauh lebih pesat karena dilakukan dengan hati dan sukarela tanpa merasa terpaksa.

Setalah rencana 2 kali pertemuan telah selesai, maka pertemuan berikutnya kembali saya bagikan lembaran kuesioner yang memuat sejumlah pertanyaan yang sama dengan sebelumnya. Hasilnya dari 100 orang responden, 90% siswa suka membuka buku catatannya lebih dari 1 kali dalam sehari, sisanya menjawab sekali dalam seminggu.

Berbagai alasan yang mereka kemukakan melalui lembaran kuesioner tersebut, diantaranya:
  1. Sangat suka dengan warna tulisan, bentuk dan perpaduannya.
  2. Seringkali diperbaiki dirumah jika kurang memuaskan
  3. Menyusun rencana model dan gaya catatan berikutnya
  4. Menambah asesoris catatan berupa gambar-gambar yang menarik di rumah
  5. Catatan sangat tidak membosankan

Tentunya masih banyak lagi alasan yang di peroleh, namun pada intinya memberi kebebasan siswa untuk membuat buku catatan yang menggunakan pulpen warna menghasilkan perubahan sikap dan pandangan siswa terhadap buku catatan. Selama ini buku catatan hanya dipandang sebagai kumpulan materi pelajaran yang diberikan oleh guru, sehingga untuk membuka buku catatan hanya dilakukan oleh sebagian kecil siswa saja khususnya pada siswa yang memiliki prestasi tinggi.

Olehnya itu, membuka ruang kebebasan berekspresi kepada siswa khususnya buku catatan adalah merupakan tindakan yang dapat berdampak pada peningkatan hasil belajar dan prestasi belajar siswa. Tindakan ini juga dapat merangsang respon siswa untuk membuka buku catatan yang pada gilirannya dapat membangkitkan motivasi membaca siswa. Motivasi membaca inilah yang diharapkan berkembang menjadi kebiasaan belajar siswa pada semua mata pelajaran yang diberikan.

Artikel keren lainnya:

Korelasi antara teknologi informasi terhadap profesionalisme guru.

Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih
bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.

Adi Sasono ( 1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal, yaitu 
  1. Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan diperkuat lagi. 
  2. Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau sebaliknya meniadakan kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat mengarah pada “dehumanisasi”. 
  3. Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang dirancang secara demokaratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian masyarakat. 
  4. Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah “to informate”. Istilah ini bukan sekedar alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, uamun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbangkan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.


Lebih lanjut Adi Sasono (1999) menyatakan revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan
antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.

Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di
bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer.
Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono, 1999).

Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar .

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan system pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian ini. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. lembaga penghasil guru yang mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan yang harus mampu melakukan tindakan yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan masyarakat.

Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu. Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat. Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasyarat untuk menjadi guru profesional. 

Disinilah peran perguruan tinggi atau lembaga penghasil guru sangat penting. Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan. Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan maupun secara personal).

Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.

Artikel keren lainnya:

4 Syarat utama yang wajib ditaati dalam membuat atau menyusun karya inovatif pembelajaran

Dunia pendidikan saat ini dituntut untuk selalu berubah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan dunia pendidikan yang semakin hari semakin kompleks. Persaingan yang begitu ketat mendorong semua elemen yang terkait dengan dunia pendidikan untuk selalu menemukan karya-karya inovatif. Kepala sekolah dan guru tidak terlepas dari tanggung jawab ini agar sekolah sebagai tempat berprosesnya pendidikan dapat selalu bergerak maksimal sehingga melahirkan output yang berkualitas dan mampu bersaing ditengah ketatnya persaingan dan tekanan di era globalisasi.

Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh sekolah adalah meningkatkan kemampuan guru dan kepala sekolah untuk melakukan penelitian. Penelitian ditujukan untuk menemukan solusi atas permasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh sekolah (guru dan siswa), hasil yang diharapkan adalah lahirnya karya-karya inovatif yang dapat menunjang proses pembelajaran. 

Betapa pentingnya penelitian tersebut, maka terlebih dahulu ketahuilah 4 syarat utama dalam menyusun atau membuat karya inovatif. Syarat dimaksud dikenal dengan akronim OPIK (Orsinalitas, Perlu, Ilmiah dan Konsisten).
1. Orsinalitas
Karya inovatif yang dibuat benar-benar merupakan karya asli penyusunnya, bukan merupakan plagiat, jiplakan, editan atau disusun dengan niat dan prosedur yang tidak jujur. 
2. Perlu
Informasi yang dilaporkan atau gagasan yang dituliskan, harus sesuatu yang diperlukan dan mempunyai manfaat dalam menunjang proses pembelajaran. Manfaat tersebut diutamakan untuk memperbaiki mutu pembelajaran di satuan pendidikan guru bersangkutan.
3. Ilmiah
Laporan disajikan dengan memakai kerangka isi dan mengandung kebenaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah kebenaran ilmiah dan mengkuti kerangka isi yang telah ditetapkan
4. Konsisten
Isi Karya Inovasi harus sesuai dengan tugas dan fungsi penyusunnya. Bila penulisnya seorang guru, maka isi laporan haruslah berada pada bidang tugas guru yang bersangkutan, dan memasalahkan tentang tugas pembelajaran yang sesuai dengan tugasnya di sekolah.

Lalu bagaimana dengan karya inovatif yang tidak memperhatikan 4 syarat di atas? 

Berikut ciri-ciri karya inovatif yang tidak sesuai dengan syarat penulisan karya inovatif:
  1. adanya bagian-bagian tulisan yang dirubah di sana-sini, bentuk ketikan yang tidak sama, tempelan nama, terdapat petunjuk adanya lokasi dan subyek yang tidak konsisten, terdapat tanggal pembuatan yang tidak sesuai, terdapat berbagai data yang tidak konsisten, tidak akurat;
  2. waktu pelaksanaan kegiatan yang kurang wajar;
  3. adanya kesamaan isi, data dan hal lain yang sangat mencolok dengan laporan orang lain
  4. tidak adanya lampiran dokumen-dokumen kegiatan yang dapat memberikan bukti bahwa kegiatan itu telah dilaksanakan
  5. masalah yang dikaji terlalu luas
  6. tidak langsung berhubungan dengan permasalahan yang berkaitan dengan upaya pengembangan profesi dari guru yang bersangkutan
  7. latar belakang masalah yang tidak jelas sehingga tidak dapat menunjukkan pentingnya hal yang dibahas dan hubungan masalah tersebut dengan upayanya untuk mengembangkan profesinya
  8. kebenaran yang tidak terdukung oleh kebenaran teori, kebenaran fakta dan kebenaran analisisnya
  9. kesimpulan yang tidak/belum menjawab permasalahan yang diajukan
  10. Laporan yang disajikan tidak konsisten dengan tugas dan fungsi penyusunnya


Artikel keren lainnya:

3 Faktor utama rendahnya mutu pendidikan di Indonesia

Berbicara seputar rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, setidaknya ada tiga faktor yang bisa di identifikasikan sebagai penyebabnya, yaitu:

  1. Kebijakan dan penyelengaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Dengan pendekatan ini fungsi lembaga pendidikan dilihat sebagai pusat produksi yang apa bila semua kebutuhan input dipenuhi sebagai output yang diharapkan akan meningkat pula. Murid diperlakukan row input sementara guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Dalam pendekatan ini pemenuhan segala kebutuhan input seperti pelatihan guru, pengadaan buku, dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana lebih ditekankan tanpa melihat proses sebagai bagian dari sebuah kegiatan pendidikan yang lebih penting.
  2. Penyelenggaraan pendidikan nasional diselenggarakan secara sentralistik yang menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Sebagai pelaksana yang sangat tergantung pada keputusan yang di ambil pada tingkat pusat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi sekolah pada dataran realitasnya. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, kreatifitas, inovasi dan daya inisiatifnya untuk mengelola dan menyelasaikan masalah yang dihadapinya. Dalam hal peningkatan mutu pendidikan sekolah tidak punya keleluasaan bertindak, kewenangan menentukan program dan kegiatan lainnya yang diharapkan mampu meningkatkan mutu output pendidikan yang dihasilkan.
  3. Peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Hal ini muncul karena sekolah dipandang sebagai sebuah perusahaan industri yang melayani kebutuhan individu. Dengan pandangan demikian, sekolah lebih bersifat frahmented dan menganggap sekolah sebagai lembaga yang berdiri sendiri dan terpisah dari masyarakat sekitarnya.13 Partisipasi masyarakat yang selama ini terjadi lebih banyak pada dukungan input dana tanpa memperhatikan proses seperti: pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas. Dalam keadaan seperti ini ini sekolah menjadi tidak punya beban untuk mempertanggungjawabkan program-program yang dilakukanya. Pada masyarakat sebagai salah satu pihak yang berkepentingan (stakholder) harus ikut mengontrol apa yang terjadi di sekolah.


Mencermati tiga hal yang melatarbelakangi rendahnya mutu pendidikan diatas, maka perlu langkah-langkah baru untuk menuju pada peningkatan mutu pendidikan yang harus ditempuh dengan menitikberatkan sekolah sebagai kekuatan utama.

Secara umum mutu diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau tersirat.

Dengan demikian mutu dalam dunia pendidikan yang dihasilkan berati gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari output pendidikan yang dihasilkan oleh suatu jenjang, jenis atau lembaga pendidikan dalam memenuhi harapan dan keinginan masyarakat sebagai pengguna dan pelanggan lembaga pendidikan.

Pustaka

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, ( Yogyakarta; Bigraf Publishing, 2000)
Departemen Pendidikan nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,(Jakarta: 2000 )

Artikel keren lainnya:

4 upaya yang bisa dikerjakan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :

  1. Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
  2. Perlu ditumbuhkembangkan motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
  3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangkapanjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
  4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.


Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggan yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. 

Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). 

Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).

Seperti disebut di atas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan di atas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.

Artikel keren lainnya:

4 Pilar paradigma baru terselenggaranya pendidikan yang bermutu menurut Wirakartakusumah

Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, diperlukan paradigma baru pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).

Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan
kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut. 

Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian  kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tidak sekedar sebagai bagian
kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.

Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.

Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang  nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan.

Artikel keren lainnya:

Rasa dan pikiran guru adalah alat sempurnanya jiwa dunia pendidikan khususnya di sekolah

Mengajar merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan tetapi pada prinsipnya sebenarnya sulit apabila dikaitkan dengan capaian prestasi belajar dan hasil belajar siswa. Semua orang bisa mengajar, tetapi hanya sedikit orang yang mampu memadukan kemampuan mengajarnya dengan prinsip mengajar. Ketahuilah bahwa antara tindakan, harapan dan tujuan dengan menggunakan metode, model, pendekatan dan strategi tertentu yang dikaitkan pula dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar harus berjalan sejajar, kemampuan inilah yang dimiliki oleh guru dan tidak dimiliki oleh profesi lainnya.

Ada banyak profesi yang melakukan kegiatan pembelajaran, misalnya seperti yang dilakukan oleh para motivator, orang yang melakukan presentasi terhadap sesuatu, ceramah keagamaan, dan lain sebagainya. Tetapi pelaksanaannya tidak se-rumit dan se-kompleks guru dalam menyajikan materinya, hal ini terjadi karena perbedaan peserta kelas pembelajarannya. Pembelajaran orang dewasa berbeda dengan pembelajaran anak-anak, anak usia SD juga berbeda bentuk pembelajarannya dengan anak usia SMP maupun SMA. 

Mengajar memiliki sekelumit masalah, jika tidak dikelola dengan baik dapat merusak ataupun mempengaruhi model, metode, strategi maupun pendekatan mengajar guru. Gaya mengajar guru akan lebih dipengaruhi oleh emosi berlebihan yang berkembang karena pola prilaku siswa didalam kelas. Psikologi guru mengalami perubahan, akibatnya proses pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan harapan. Maka kemudian yang terjadi adalah proses pembelajaran didominasi oleh luapan kemarahan dari guru kepada siswa.

Olehnya itu, sebagai guru sebelum melakukan tindakan kepada siswa maka sebaiknya rasakan terlebih dahulu apa yang sedang terjadi di dalam kelas. Semua yang dirasa selama pembelajaran dipahami dan diselami maksud dan kejadiannya, bagaimana rangkaian tahapan pelaksanaannya mulai dari awal sampai dengan saat dimana pembelajaran menjadi terganggu atau bahkan terhenti. Lakukan dengan obyektif, jangan memposisikan diri kita pada posisi yang benar, pertimbangkan bahwa kemungkinan benar dan salahnya bisa jadi dipihak kita atau mungkin juga dipihak siswa.

Setelah merasakan apa yang sedang kita alami, kemudian pikirkan tindakan selanjutnya yang sehubungan dengan apa yang kita alami. Yang perlu diperhatikan adalah dampak positif dan dampak negatifnya, apakah tindakan yang akan dilakukan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa dan hasil belajar siswa, atau sejauhmana pengaruh negatifnya terhadap siswa. Semua ini dipertimbangkan dengan baik sehingga tidak mengganggu psikologi siswa yang ingin belajar guna mendapatkan ilmu pengetahuan dari kita.

Rumusan tindakan yang direncanakan yang telah melalui pertimbangan yang matang barulah dapat diterapkan apabila pengaruh positifnya lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh negatifnya.  Petimbangan atas rencana tindakan tersebut harus benar-benar melibatkan rasa dan pikiran positif sehingga hasilnya berpengaruh positif pada peningkatan prestasi belajar dan hasil belajar siswa yang kita ajar.

Artikel keren lainnya:

Syarat penulisan soal : Jangan lupa! Soal harus sesuai dengan materi yang pernah diajarkan kepada siswa

Pengunaan teknologi informasi khususnya Komputer telah memudahkan guru untuk membuat berbagai administrasi pembelajaran mulai dari RPP, Silabus, Penilaian dan lain sebagainya. Pengintegrasian teknologi informasi ke dalam pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan termasuk peningkatan kompetensi guru dan siswa.

Pembelajaran dengan mengintegrasikan teknologi informasi merupakan suatu keharusan karena berdasarkan beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar dan hasil belajar siswa jauh lebih pesat dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan secara konvensional. Siswa lebih tertantang untuk melakukan proses mencari tahu, penyajian pembelajaran lebih menarik sehingga dapat membangkitkan respon siswa untuk mengikuti pelajaran, penyajian dalam bentuk audio visual mampu mendekatkan siswa kepada kehidupan nyata. Hal ini membuat terjadinya penarikan visualisasi kehidupan nyata siswa kedalam simulasi visual dalam pembelajaran di kelas.

Namun demikian, kemudahan tersebut juga tidak terlepas dari efek negatif penggunaan teknologi informasi. Misalnya, penulisan soal tes, sebagian guru lebih cenderung melakukan copy paste terhadap soal-soal yang akan diujikan tanpa mempertimbangkan apakah soal yang akan di ujikan tersebut sudah sesuai dengan materi yang diajarkan. Padahal prinsip penulisan soal atau tes harus sesuai dengan materi yang telah diajarkan. Tujuannya antara lain untuk mengukur sejauhmana kemampuan siswa menguasai kompetensi yang diberikan, bukan hanya untuk mengisi buku nilai.

Guru tidak akan menemukan hasil yang valid apabila soal tes yang diujikan dimana materinya tidak pernah diajarkan. Hal ini tentu saja mempengaruhi analisis guru dalam rangka untuk mengetahui pencapaian kompetensi siswa. Proses pengambilan data melalui soal atau tes diwajibkan memperhatikan prinsip penulisan soal agar diperoleh data yang akurat, obyektif, dan valid. Seyogyanya, setiap kelas diberikan dengan soal tes yang berbeda sesuai dengan tingkat penguasaan materi yang diajarkan selama proses pembelajaran atau sejauhmana materi atau kompetensi yang telah diberikan. Karena biasanya masing-masing kelas memiliki tingkat kompetensi atau kemampuan yang berbeda, tentu perbedaan ini diikuti dengan bentuk pelayanan dan perlakuan yang berbeda pula termasuk dalam hal butir-butir soal ujian atau tes yang diujikan.

Artikel keren lainnya: