Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Memperbaiki miskonsepsi siswa melalui model pembelajaran pemecahan masalah ( problem solving).

Setiap siswa dan fisikiawan menafsirkan konsep-konsep fisika dengan caranya sendiri (tafsiran idiosynoratic). Tentu bayangan tentang konsep atom dalam kepala para fisikiawan hanya sedikit berbeda satu dengan yang lain, tetapi bayangan dari konsep atom dalam kepala siswa dapat banyak berbeda satu sama lainnya. Maka kita membedakan antara konsep dan konsepsi. Atom adalah salah satu konsep fisika yang artinya disepakati oleh banyak fisikiawan. Konsepsi atom adalah penafsiran seseorang dari konsep atom, bagaimana orang tersebut membayangkan atom?. Jadi konsep adalah pengertian umum sedangkan konsepsi dapat berbeda untuk setiap orang. Jika konsepsi seseorang banyak menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh para ilmuawan, maka konsepsi itu disebut miskonsepsi. 

Sekitar 20 tahun yang lalu sejumlah peneliti fisika mulai mempelajari jenis-jenis kesalahan siswa dan mencari sebab dari kesalahan  siswa dalam fisika. Ternyata seringkali kesalahan siswa terjadi bukan ralat menghitung atau kelemahan matematika saja, tetapi ada pola yang jelas dan konsisten (tetapi salah) dalam jawaban siswa, maka lahirlah istilah “ miskonsepsi” Banyak miskonsepsi tidak lahir di sekolah, tetapi jauh sebelumnya yang disebut “prakonsepsi”. Misalnya, Osborne (1982) mewancarai siswa SD di AS yang belum pernah dapat pelajaran mengenai kelistrikan. Ternyata mereka sudah memiliki konsepsi mengenai arus listrik. Osborne menemukan empat model mengenai arus dari dua kutup (clascing current: kedua arus bertabrakan dan menyalakan lampu), arus yang semakin berkurang karena digunakan oleh lampu dan alat lain (model konsumsi) dan arus yang tetap (model ilmu). Penelitian lain seperti Cohen et. al. (1983) di Israel, Shipstone (1984) di Inggris, Lichi (1990) di Belanda, Maiche (1982) di Jerman, Joshua dan Dupin (1987) di Perancis, dan McDermott dan Van Zee (1985) di Amerika Serikat menemukan miskonsepsi yang sejenis dan banyak miskonsepsi lain mengenai arus dan tegangan listrik, yang terjadi pada siswa SD, SLTP, SMA, dan mahasiswa. Berbagai miskonsepsi yang ditemukan antara lain menurut model konsumsi (consumption or attenuation model) besar arus listrik dalam rangkaian seri berkurang pada setiap tahanan atau lampu. Jadi sebagian arus diserap pada setiap komponen rangkian sehingga (menurut siswa) arus dekat kutub positif lebih besar daripada arus dekat kutub negatif dari sumber daya. 

Demikian pula dengan sejumlah besar siswa di SMA saat ini, juga mengalami miskonsepsi pada materi pelajaran fisika, terutama pada materi pelajaran listrik dinamis, seperti misalnya jika siswa diberikan suatu rangkaian listrik yang terdiri dari dua lampu, satu buah baterai, dan satu buah resistor ternyata banyak mengalami miskonsepsi, antara lain :
  1. semakin jauh dari kutub positif sumber, semakin kecil  arus listrik, jadi sebagian arus diserap dalam lampu dan resistor (disebut model konsumsi);
  2. jika ada komponen yang ditambah, hanya arus sesudah komponen tersebut yang dipengaruhi, tetapi besar arus sebelumnya letak komponen sama dengan semula (penalaran lokal).
  3. sumber tegangan dipandang sebagai sumber arus tetap daripada sumber tegangan tetap dan hal ini menyebabkan banyak kesalahan.
  4. jika ada lampu dalam rangkaian seri atau paralel yang dicabut, beda potensial kabel yang masuk tempat lampu yang kosong dan kabel yang keluar dianggap nol. Bahkan menganggap voltmeter rusak daripada konsepsi beda potensialnya salah.
  5. banyak siswa mencampur adukkan istilah seri dan paralel. (Bunga Dara Amin dkk, 2006)


Selanjutnya apabila ditanyakan tentang : 

a). Apa bedanya antara arus  dan tegangan ?
Siswa menjawab : Arus mengalir dari + ke – sedangkan tegangan mengalir dari – ke +

b). Jika beberapa lampu yang identik dirangkai secara seri. Bagaimana terangnya lampu ke 2 dan ke 3 dibandingkan dengan lampu ke 1?.
Siswa menjawab : Lampu pertama paling terang, yang kedua lebih redup, yang ketiga paling redup, sebab sebagian dari arus diserap oleh lampu pertama, maka arus berkurang. (Bunga Dara Amin dkk, 2006)

Dari jawaban-jawaban yang diutarakan oleh siswa-siswa tersebut di atas, ternyata banyak mengalami miskonsepsi diantaranya adalah (1) siswa tidak cukup membedakan antara arus dan tegangan listrik; (2) siswa menganggap bahwa lampu menyala karena lampu menyerap arus (daripada menyerap energi dari elektron) Berdasarkan dari kenyataan ini, maka  disimpulkan bahwa ternyata ada pola tertentu dalam miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep di dalam materi listrik dinamis. Kebanyakan siswa secara konsisten mengembangkan konsep listrik dinamis yang salah yang secara tidak sengaja terus menerus mengganggu pelajaran listrik dinamis. Miskonsepsi ini mencul dari pengalaman sehari-hari dan sulit sekali diperbaiki. Implikasi dari miskonsepsi dapat menurunkan hasil belajar siswa.

Berdasarkan adanya indikasi miskonsepsi ini, guru dapat mengatasinya melalui model pembelajaran pemecahan masalah ( problem solving). Adapun model pembelajaran pemecahan masalah adalah memberikan soal-soal kepada siswa, kemudian diberi kesempatan untuk mengerjakan soal-soal, selanjutnya meminta siswa mempresentasikan hasil kerjanya, tujuannya adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh miskonsepsi dalam menjawab soal-soal tersebut.

Untuk mencapai hasil maksimal, maka diperlukan suatu pendekatan yang tepat misalnya pendekatan praktikum atau pengalaman lingkungan,  pendekatan responsi (penyelesaian soal disertai pembahasan), dan pendekatan pertanyaan atau tanya jawab. Pada umumnya model pembelajaran pemecahan masalah mengadaptasi Model Pembelajaran Pemecahan Masalah yang dikembangkan oleh Ronal D Anderson dkk, yang dicirikan; (1) mengenal masalah,(2) memperjelas atau menjelaskan masalah,(3) menetapkan komponen yang relevan dan yang tidak relevan dalam masalah,(4) memberikan hipotesa sementara,(5) menyusun strategi yang digunakan untuk menguji bersama-sama hipotesa yang disesuaikan, (6) menguji hipotesa yang disesuaikan, dan (7) mengumpulkan data dan menggambarkan kesimpulan ( Euwe Van den Berg, 1991). 

Pada dasarnya model pembelajaran pemecahan masalah, menekankan pada proses, dan produk, yakni siswa secara langsung mengobservasi masalah, mengumpulkan data, menganalisa data, menyusun hipotesa, mencari hubungan data yang hilang dari data yang telah terkumpul untuk kemudian mencari kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah. 

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Memperbaiki miskonsepsi siswa melalui model pembelajaran pemecahan masalah ( problem solving)."

Post a Comment