Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Pengertian Konsep Diri Menurut Para Ahli

Menurut Calhoun & Acoccela (1990) bahwa konsep diri adalah gambaran mental individu yang berupa penilaian terhadap diri sendiri, pengetahuan terhadap diri sendiri dan pengharapan terhadap diri sendiri. Konsep diri mencakup semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui invidu berkaitan dengan dirinya yang dapat berpengaruh ketika berhubungan dengan orang lain. Hal-hal yang termasuk dalam bagian konsep diri di antaranya adalah persepsi individu terhadap sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nialai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Apabila seseorang berpikir bahwa dirinya mampu, maka ia akan cenderung sukses dan apabila seseorang berpikir bahwa dirinya gagal maka ia telah mempersiapkan diri untuk gagal. Sehubungan dengan ini Calhoun & Acoccela (1990) menyatakan bahwa konsep diri juga merupakan bagian diri yang mempengerahui setiap aspek pengalaman, baik pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku individu. Konsep diri termasuk hal yang penting bagi siswa karena konsep diri menentukan bagaimana ia dapat bertindak dalam berbagai situasi. 

Selanjutnya Cawagas (dalam Pudjijogyanti, 1988) menyatakan bahwa konsep diri merupakan penilaian seseorang secara menyeluruh mengenai dimensi fisik, karakteristik prbadi motivasi, kelemahan kepandaian maupun kegagalan yang dialaminya. Menurut Burns (1993) konsep merupakan suatu konfigurasi dari persepsi-persepsi yang terorganisasikan mengenai diri individu yang dapat masuk ke dalam kesadaran, Sedangkan William D. Brooks (dalam Jalaluddin Rahmat, 1986) menyatakan bahwa konsep diri merupakan penilaian mengenai totalitas psikis, sosial dan fisik berkaitan dengan dirinya yang berasal dari pengalaman- pengalaman dan interaksinya dengan orang lain. 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang mencakup semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu berkaitan dengan dirinya melalui pengalaman dalam beriteraksi dan berhubungan dengan orang lain yang di masukkan kedalam kesadaran. Sehubungan dengan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa konsep diri siswa adalah penilaian siswa terhadap dirinya yang mencakup ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, pengetahuan dan pendirianya yang berlangsung secara disadari. 

Konsep diri dapat dibagi menjadi dua macama sebagaimana dikemukakan Calhoun & Acoccela (1990) yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 

1. Konsep diri positif 

Konsep diri positif mengarah kepada penerimaan terhadap diri sebagaimana adanya dan bukan merupakan kebanggaan yang berlebihan. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Siswa yang memiliki konsep diri positif dapat memahami betul tentang keadaan dirinya, dapat memahami sejumlah fakta yang beranekaragam mengenai dirinya, dapat melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri dan dan dapat menerima keadaan orang lain. Selain daraipada itu, siswa yang memiliki konsep diri positif juga dapat merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realaitas, yakni tujuan yang mempunyai peluang besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi masa depannya serta dapat menjadikan perjalanan hidup sebagai suatu pengalaman yang berharga. Pada dasarnya siswa yang memiliki konsep diri positif adalah siswa yang tahu betul siapa dirinya sehingga dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta dapat menerima segala kemungkinan atau resiko yang dapat ditimbulkannya. 

2. Konsep diri negatif 

Sehubungan dengan konsep diri negatif ini, Calhoun & Acoccela (1990) membagi menjadai dua tipe, yaitu: 
  • Tipe konsep diri negatif yang berupa pandangan individu terhadap dirinya benar- benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan yang stabil dan keutuhan diri. Siswa yang mempunyai tipe konsep diri semcam ini merupakan siswa yang benar- benar tidak memahami siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau sesuatu hal yang berharga dalam dirinya. 
  • Tipe konsep diri negatif yang berupa pandangan individu terhadap dirinya sendiri secara berlebihan. Misalanya menggap dirinya terlalu stabil dan teratur. 


Artikel keren lainnya:

8 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif

8 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif yaitu: 

  1. mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter; 
  2. mengidentifikasi karakter secara komprehensif; 
  3. menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif; 
  4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian; 
  5. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik; 
  6. memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka sukses; 
  7. mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik; 
  8. memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama


Artikel keren lainnya:

Pengertian, Elemen dan Konsep Media Literacy

Media literacy dikonsepkan sebagai “…the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003).” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.

Rubin dalam Prihandini (2007) menjelaskan tiga definisi media literacy.

Pertama, kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan.
Kedua, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat.
Ketiga, yaitu memahami budaya, ekonomi, politik dan pemaksaan teknologi dalam menciptakan, memperoduksi dan mentransmisi pesan.

Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.

Pemikiran sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep media literacy. Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi komunikasi Kanada Marshall McLuhan, ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky, filosof Prancis Jean Baudrillard, kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman, dan perintis media education Amerika: Renee Hobbs. Landasan teoritis media literacy sendiri bersumber dari tradisi pemikiran kiri, yang berkembang dalam cultural studies (Leftist Cultural Studies). Seperti diungkapkan Livingstone (2004), media literacy adalah “… a synthesizer of media education projects dating back to 1920s … act as an umbrella term for teaching practices that make students aware of the construct of mass media.”

Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Sesungguhnya, media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media literacy bukanlah media education, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang pertama. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak (Astuty, 2007).

Sementara itu Silverblatt’s (dalam Baran 2012) mendefinikan lima elemen media literacy; 
  1. Kesadaran akan dampak media massa pada individu dan masyarakat, pemahaman terhadap proses komunikasi massa, 
  2. Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media, 
  3. Kesadaran isi media sebagai teks yang memberikan masukan bagi budaya kontemporer dan diri kita, 
  4. Pengolahan rasa senang kepada media, pemahaman dan penghargaan akan isi media.

Elemen-elemen kunci dalam literasi media adalah literasi media tidak terbatas pada satu medium, memerlukan kecakapan, memerlukan tipe tertentu dari pengetahuan dan selalu berkaitan dengan nilai Potter (dalam Adiputra, 2009). Potter menjelaskan bahwa konsep literasi memiliki pondasi pada tiga ide dasar. 

Pertama, literasi media adalah sebuah kontinum, bukan sebuah kategori. Semua orang memiliki pemahamn tentang media, walaupun hanya berbeda tingkatan. Tidak seorangpun yang tidak memahami media dan tidak seorangpun yang benar-benar memahami media dengan lengkap. Sehingga kekuatan perspektif seseorang ditentukan oleh kualitas dari struktur pengetahuannya.

Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Struktur pengetahuan seseorang terdiri dari informasi yang berasal dari empat dimensi, yakni kognitif, emosional, estetik dan moral. Dimensi kognitif berkaitan dengan fakta yang terdapat di dalam informasi. Dimensi emosional berisi informasi yang berkaitan dengan perasaan seperti cinta, benci, bahagia, sedih, marah dan sebagainya. Dimensi estetik berkaitan erat dengan apresiasi terhadap pesan dan yang terakhir adalah dimensi moral yang berkaitan dengan nilai.

Ketiga, tujuan dari literasi media adalah memberikan control terhadap penafsiran suatu pesan. Pesan memiliki banyak tingkatan makna. Semakin tinggi tingkat literasi media yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak makna yang dapat digalinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat literasi media seseorang, semakin sedikit atau semakin dangkal pesan yang didapatnya. Seseorang dengan tingkat literasi media yang rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi dan satire atau membangun pandangan dunia luas. Seseorang yang memiliki tingkat literasi media yang rendah akan mudah menerima makna yang disodorkan oleh media begitu saja tanpa melakukan refleksi kritis lebih lanjut.


Pustaka

Adiputra, Wisnu Martha. 2006. Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta. Fisipol UGM

Astuti, Sandi Indra. 2007. Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme. Bandung. Jurnal Issue (Jurnal ISKI Bandung) Vol 1 No.1 Agustus 2007

Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd edition). New York. McGraw-Hill.

Prihandini, Isti. 2007. Pelajaran Media Literacy dan Kemampuan Melek Media. Jurnal Thesis Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Univesitas Indonesia Volume VI/No.3 September-Desember 2007


Artikel keren lainnya:

Peran Penting Program Literasi Media dalam Dunia Pendidikan di tengah Pesatnya Perkembangan Media Massa


Perkembangan dunia media massa di Indonesia, khususnya dunia televise mencapai level yang luar biasa sejak era reformasi, meski perkembangan dunia televise Indonesia sudah di mulai sekitar dua puluh tahun yang lalu. Tahun 1989 baru terdapat 2 stasiun televisi yaitu TVRI dan RCTI. Sekarang ini terdapat 11 stasiun TV skala nasional dan ratusan stasiun TV berskala lokal yang tersebar hampir disetiap ibukota propinsi bahkan sampai tingkat kabupaten.

Dari sisi kuantitas, khalayak televisi di Indonesia disuguhi pesan televisi yang luar biasa besar, namun dari sisi kualitas miskin makna. Selama satu dekade terakhir sajian televisi nyaris tidak berubah. Hampir sepanjang hari kita akan disuguhi oleh gunjingan dan gosip para selebriti lewat infotainment. Sejak pagi-pagi buta selepas siaran dakwah atau kuliah subuh, yang berisi pesan untuk tidak ber-ghibah satu jam setelahnya kita sudah disuguhi siaran yang berisi infotainment. Di waktu yang lain kita akan disuguhi oleh televisi dengan tayangan reality show yang isinya tidak lebih dari kontak jodoh dan pengungkapan kisah perselingkuhan, pertengkaran dan perceraian. Acara-acara tersebut tersebar pada hampir seluruh stasiun televisi.

Keprihatinan seputar dampak negatif televisi, juga media massa lainnya kepada anak-anak dan remaja melahirkan gagasan media literacy. Media literacy pada awalnya dikonsepsikan sebagai semacam keterampilan untuk memahami sifat komunikasi terutama pada media telekomunikasi dan media massa. Sejatinya konsep ini diterapkan pada beragam gagasan untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Literasi media adalah sebuah keterampilan yang diperlukan setiap orang dalam interaksinya dengan pesan media massa. Dimana target utamanya adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan fisik dan mental.

Belakangan ini, akademisi, pemerhati budaya maupun pakar-pakar pendidikan banyak mengkritisi media massa terkait dampak negative yang ditimbulkannya. Media massa di Indonesia, khususnya televisi (dan belakangan film), dianggap ‘menghambat rekonstruksi kebudayaan’ (Siregar, 2008), ‘memperkeruh moral publik’ walaupun di sisi lain seiring dengan perubahan paradigma pola asuh memberi pembelajaran bagi mahasiswa untuk berkiprah dalam ruang publik yang demokratis lewat demonstrasi.

Pasalnya, dengan terbukanya keran kebebasan pers, media massa semakin berani mempertontonkan hal-hal yang semula dianggap tabu bagi masyarakat. Di satu sisi, seperti dalam penelitian Basir, hal ini memberikan efek positif karena masyarakat, khususnya generasi muda, mendapatkan pola asuh yang berbeda dari pola asuh otoriter tradisional. Di sisi lain, kehadiran media massa yang belum mampu secara dewasa menyikapi kebebasannya menyebabkan ekses-ekses negatifnya seperti pornografi, pelanggaran batas privasi, ekspos kekerasan dan mistik supranatural yang berlebihan.

Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tengah situasi semacam ini persisnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pendidikan merupakan institusi yang penyelenggaraannya secara umum dilaksanakan oleh pranata-pranata pendidikan seperti sekolah, lembaga adat dan lembaga agama, sesuai dengan salah satu fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas kemanusiaan siswa didik melalui sosialisasi pengetahuan dan nilai-nilai (cultural maintenance). Data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2000 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penduduk dewasa Indonesia di depan televisi juga berkisar 4 jam sehari. Jumlah yang dihabiskan anak-anak diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding dengan orangtuanya, (Lie, 2004).

Sayangnya ditengah kondisi membanjirnya pesan berbagai pesan televisi tersebut masih terdapat banyak hal yang perlu disikapi dengan kritis. Pertama, tidak semua pesan televisi tersebut baik dan berguna untuk masyarakat. Kedua, kondisi dan keadaan masyarakat Indonesia seperti dibiarkan oleh Negara dan kelas terdidik tanpa memiliki kemampuan yang memadai dalam menyaring informasi yang disampaikan media massa. Karena itu kehadiran literasi media televisi sangat diperlukan. Pertanyaan utama yang kemudian mengemuka adalah bagaimana menggagas model pendidikan literasi media yang dapat diterapkan di Indonesia terutama pada masyarakat lokal yang senantiasa memiliki perbedaan nilai dan budaya. Implikasi dari permasalahan itu adalah: pertama, karena secara formal maupun informal pendidikan literasi media belum diterapkan di Indonesia maka model pendidikan literasi harus dikembangkan melalui riset dengan mengacu pada hasil riset dari mancanegara. Kedua, mengingat kebanyakan model dikembangkan di mancanegara maka belum tentu model-model tersebut sesuai dangan kondisi masyarakat Indonesia sehingga harus dilakukan seleksi ketat untuk menemukan model yang paling sesuai untuk dikembangkan.


Pustaka

Astuti, Sandi Indra. 2007. Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme. Bandung. Jurnal Issue (Jurnal ISKI Bandung) Vol 1 No.1 Agustus 2007

Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd edition). New York. McGraw-Hill.

Fardiah, Dedeh. 2009. Hegemoni Pasar Tayangan Anak-anak di Televisi. Unpad Press. Bandung

Potter, W. James. 2004. Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London. Sage Publication.

Prihandini, Isti. 2007. Pelajaran Media Literacy dan Kemampuan Melek Media. Jurnal Thesis Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Univesitas Indonesia Volume VI/No.3 September-Desember 2007

Triputra, Pinkey. 2004. Dilema Industri Penyiaran di Indonesia: Studi tentang Neoliberalisme dan Perkembangan Pertelevisian di Era Orde Baru dan Reformasi. Disertasi. Jakarta. Universitas Indonesia

Artikel keren lainnya: