Seorang guru senior, umurnya sekitar 60-an tahun. Di usianya selama mengajar sudah tidak terhitung banyaknya siswa yang merasakan didikannya, saya termasuk salah satu murid beliau. Selama mengajar, beliau sangat disiplin, disiplin waktu, materi, pakaian dan lain-lain. Beliau mendidik kami dengan menunjukkan dirinya sebagai yang patut di teladani.
Kini beliau sudah pensiun, energi yang dulunya menjadi motivasi bagi siswanya sudah mulai menurun, hanya kata-katanya yang masih menyiratkan semangat dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. Mungkin karena faktor usia dan wadahnya yang tidak ada sehingga kepeduliannya tidak tersalurkan. Namun demikian kami sangat menghormati beliau, kami menjadikan contoh dan suri teladan selama kami bekerja.
Pada suatu hari beliau ingin mengambil gaji pensiunnya di Kantor Pos. Karena banyaknya pensiunan mulai dari guru sampai pegawai lainnya sehingga beliau harus berjibaku dengan panas dan pengapnya ruang antrian. Seolah apa yang telah diperbuatnya tidak lagi bernilai, seharusnya mereka yang telah berjasa pada bangsa dan negara mendapatkan perlakuan yang istimewa.
Akan tetapi anda hidup di negeri 1001 macam persoalan, 1001 macam perlakuan, dan 1001 macam mimpi yang sudah dibeli oleh demokrasi. Beliau salah satu orang yang berjasa yang kini mendapatkan ketidakadilan negeri ini.
Pada saat selagi menunggu, tiba-tiba ada seorang pegawai mengajak beliau ke ruang kerjanya. Ruangan yang ber-AC, sudut ruangan terdapat kursi sofa. Di dekat jendela terdapat meja kerja yang sangat indah, selama beliau menjadi guru belum pernah sekalipun merasakan suasana ruangan seperti ini. Terlintas di benak beliau, seandainya para guru diperlakukan seperti ini, beliau yakin dunia pendidikan tidak akan menjadi tempat kumpulan orang-orang stres. Dimana guru harus memikiran materi pelajaran, masalah siswa, kenaikan pangkat, model, metode, penilaian, dan lain sebagainya.
“Apakah bapak mau terima pensiunnya?” kata pegawai yang mengajak beliau ke ruang kerjanya.
“Iya, tetapi sementara menunggu antrian” jawab beliau.
“Lain kali langsung ke ruangan saya ini, mari pak kertasnya biar bawahan saya yang uruskan” kata pegawai tersebut meminta secarik kertas yang dipakai untuk menerima uang pensiunnya.
Kemudian pegawai yang tidak lain adalah kepala kantor itu menyuruh bawahannya mengurus pensiunnya beliau. Lalu kembali duduk disamping beliau.
“Pak, saya yakin bapak mungkin sudah lupa dengan saya, dari sekian ribu orang siswa bapak, salah satunya kini telah menjadi kepala kantor dan orang itu adalah saya pak!. Saya sangat bersyukur karena didikan bapak sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang, karena kedisiplinan bapak terhadap kami sehingga saya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di kantor ini, karena pesan-pesan moral bapak sehingga saya bisa memberi motivasi kepada para bawahan saya. Saya tidak akan memaksa bapak untuk mengingat saya, ini namaku (rahasia), dan sambil menunggu uang pensiun bapak diterimakan oleh bawahan saya tadi, saya berharap supaya bapak kembali memberikan nasehat kepada saya, oh iya pak, jikalau bapak bersedia, saya mengharapkan kehadiran bapak, ada acara syukuran dirumah, alamatku ini pak . . . . . .” kata pegawai itu.
Begitulah sepenggal cerita beliau, sampai kini karena kepala kantor masih mantan didikan beliau sehingga beliau selalu menerima pensiunnya di ruang kerja kepala kantor. Apa yang engkau tanam maka engkau pula yang akan menikmatinya. Jadilah guru semata-mata karena Allah kelak engkau pula yang akan merasakan manfaatnya.
Belum ada tanggapan untuk "Memori seorang guru 1"
Post a Comment