Luasnya spektrum perhatian Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan menyebabkan pembahasan yang komprehensif terkait teori dan praktik pendidikannya menjadi tidak mudah dilakukan. Berikut perspektif Ki Hadjar Dewantara mengenai hakikat pendidikan, dasar dan tujuan pendidikan, kurikulum, model pembelajaran, dan evaluasi.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan menempati posisi strategis dalam peningkatan kualitas dan kapasitas seseorang untuk mengarungi kehidupan. Ki Hadjar menempatkan pendidikan sebagai aktivitas yang kompleks dan mencakup mengembangan kualitas manusia secara komprehensif. Menurutnya pendidikan adalah “daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak” (Dewantara, 1962). Proses pendidikan harus memberi perhatian, perlakuan dan tuntunan yang seimbang dalam pengembangan karakter, intelek, dan jasmani anak didik sehingga menghasilkan sumber daya manusia paripurna. Ki Hadjar menegaskan bahwa pendidikan merupakan upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tuntunan mengisyaratkan bahwa perkembangan anak berada di luar kecakapan dan kehendak pendidik karena anak memilik kodrat tersendiri. Ki Hadjar Dewantara (1962) menyatakan, “kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.” Kutipan tersebut menggambarkan perspektif beliau bahwa pendidikan merupakan proses yang holistik dan integratif. Pengembangan berbagai dimensi manusiawi anak harus ditangani secara berkelanjutan dan melibatkan sinergi orang tua, guru, masyarakat, pengambil kebijakan di pemerintahan, dan lain-lain.
Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. pendidikan harus berpijak pada kebudayaan yang dinamis dan mengalami adaptasi secara berkesinambungan. Menurut Ki Hadjar, pendidikan dibangun dengan menempatkan nilai seperti kehalusan rasa, persaudaraan, sopan santun dalam tutur kata dan tindakan sebagai fondasinya. Dalam Kongres I Taman Siswa yang berlangsung pada tahun 1930, beliau dengan lugas menyatakan bahwa pendidikan harus berdasarkan garis hidup bangsanya (kultural nasional) yang ditujukan untuk keperluan prikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemulian segenap manusia di seluruh dunia (Sularto, 2016). Dengan demikian, kesadaran mengenai garis hidup bangsa dengan kekayaan khazanah budaya luhurnya harus ditempatkan sebagai esensi yang mewarnai teori dan praktik pendidikan.
Dasar Pendidikan
Pendidikan hadir dan berlangsung dalam konteks sosial-budaya. Pendidikan harus menempatkan kebudayaan sebagai fondasinya. Kebudayaan dan pendidikan bersifat inter-relasional. Kebudayaan menyediakan kerangka nilai dimana konsep dan aksi pendidikan diletakkan. Pada saat bersamaan, pendidikan berperan memperkaya dan mengembangkan kebudayaan. Sejalan dengan hal tersebut, Ki Hadjar memandang bahwa pendidikan Indonesia harus dibangun berdasar filosofi nilai-nilai luhur bangsa. Ketika berpidato dalam Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 03 Maret 1947 di Malang beliau menegaskan bahwa apabila dalam usaha kebudayaan, pendidikan dan pengajaran di Indonesia merdeka hanya sanggup meneruskan cara dan adat lama saja [warisan kolonial], maka tidak perlu adanya revolusi. Bahkan, dengan ungkapan yang sangat tajam beliau memandang apabila bangsa Indonesia hanya menjadi pelanjut warisan kolonial, maka lebih baik Bung Tomo disuruh pulang saja untuk bertani misalnya, dan pemuda-pemuda Indonesia disuruh kembali saja untuk meneruskan pelajarannya di sekolahsekolah (Dewantara, 1962).
Ki Hadjar telah merumuskan lima asas Taman Siswa. Pada Kongres Taman Siswa pada tahun 1947, lima asas tersebut dinamakan Pancadarma yang terdiri dari: kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan (Sularto, 2016). Melalui rumusan Pancadarma tersebut, Ki Hadjar telah melakukan tindakan revolusioner dan menyampaikan kritik terhadap sekolah-sekolah yang didirikan pemerintahan kolonial. Sekolah yang didirikan pemerintah kolonial sebagai salah satu dari manifestasi kebijakan politik etis dipandang sebagai instrumen kontrol sosial untuk menanamkan perasaan inferior dikalangan penduduk pribumi dan ditujukan untuk menghasilkan pegawai rendahan yang dapat dibayar murah. Untuk itu, Ki Hadjar Dewantara (1962) menyatakan bahwa pendidikan dalam Republik Indonesia harus berdasar kebudayaan serta kemasyarakatan bangsa Indonesia tanpa menutup diri dari dinamika budaya global. Penekanan pada kebudayaan nasional bertujuan agar bangsa Indonesia tidak larut dan hanyut dalam pusaran internasionalisasi sehingga kehilangan identitasnya sebagai rakyat dari bangsa yang berdaulat (Dewantara, 1967). Imperialisme budaya senantiasa harus diwaspadai. Kemerdekaan akan kehilangan makna apabila rakyat terus mengekor pada kebudayaan bangsa-bangsa lain. Menurut Ki Hadjar Dewantara (2009) imperialisme tidak saja ada dalam bidang kenegaraan, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.
Tujuan Pendidikan
Ki Hadjar memaknai pendidikan sebagai proses pemberian tuntunan untuk menumbuhkembangkan potensi anak. Dalam istilah tuntunan tergambar bahwa tujuan pendidikan mengarah pada pendampingan anak dalam proses penyempurnaan ketertiban tingkah lakunya. Dalam artikel berjudul “Sifat dan Maksud Pendidikan” yang dipublikasikan pada tahun 1942, beliau mengemukakan bahwa tujuan pendidikan ialah kesempurnaan hidup manusia sehingga dapat memenuhi segala keperluan lahir dan batin yang diperoleh dari kodrat alam (Dewantara, 2009). Rumusan tujuan pendidikan Ki Hadjar diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 3 Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1982). Sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut, Ki Hadjar menegaskan pendidikan mengemban misi agung dalam pengembangan budi pekerti peserta didik. Seseorang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti mempunyai kemampuan untuk senantiasa mempertimbangkan, merasakan, dan menggunakan ukuran dalam bertindak. Budi pekerti yang dimiliki seseorang dapat memandunya mengambil keputusan atau menentukan secara mandiri tindakan yang dipilihnya secara bijaksana (Dewantara, 1962).
Konsep pendidikan yang diarahkan pada pengembangan kompetensi peserta didik dengan memaksimalkan potensi alami peserta didik dengan mengoptimalkan daya-daya yang berada di sekelilingnya merupakan pandangan yang semakin mendapat tempat dalam diskursus pendidikan kontemporer. Pendidikan tidak semestinya dibatasi pada pengembangan dimensi akademik atau lebih sempit lagi pada dimensi pengetahuan (kognitif) semata. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Republik Indonesia, 2003)
Kurikulum
Istilah kurikulum belum digunakan Ki Hadjar dan tokoh-tokoh pendidikan di tanah air menjelang dan di awal kemerdekaan dalam tulisantulisannya. Padanan kata kurikulum yang digunakan untuk merangkum aktivitas perencanaan dan pelaksanaan pendidikan adalah leerplan (bahasa Belanda). Meskipun demikian, penelitian Wangsalegawa (2009) menunjukkan bahwa gagasan Ki Hadjar dan praktik yang dijalankan di Perguruan Taman Siswa mencerminkan prinsip-prinsip kurikulum sebagai berikut:
- mata pelajaran disajikan berkaitan (interrelated);
- kurikulum disusun secara fleksibel sehingga memberi ruang penyesuaian sesuai kebutuhan individu anak dan masyarakat;
- kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal;
- kurikulum harus menunjukkan keterkaitan teori dan praktik, sebab lulusan Perguruan disiapkan menjalani kehidupan di tengah masyarakat;
- kurikulum disusun dengan mengakomodir perkembangan dan minat peserta anak didik.
Gagasan kurikulum Ki Hadjar yang diimplementasikan di Taman Siswa menunjukkan kedalaman wawasan dan komitmen beliau untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia yang berkarakter. Pandangan tersebut sejalan dengan perspektif terbaru yang memaknai kurikulum sebagai representasi simbolik filosofi, budaya, politik, dan ekspresi satu komunitas atau suatu bangsa mengenai hal-hal yang dinilai penting untuk dikuasai peserta didik (Sparapani, dkk., 2014; Asher, 2009). Kurikulum berisi kumpulan gagasan dan aktivitas untuk mentransmisikan dan mentransformasikan hal-hal terpilih yang dipandang bernilai untuk dikenang dari masa lalu, keyakinan pokok mengenai kondisi saat ini, dan harapan mengenai masa depan. Kurikulum diposisikan sebagai pemilihan aspek-aspek yang dipandang penting dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan kehidupan dan merepresentasikan dimensi subyektif dan rasional para pengembang kurikulum (Li, 2009; Goodson & Cricks, 2009). Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memaknai kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Republik Indonesia, 2003).
Metode Pembelajaran
Pembelajaran merupakan aktivitas inti dalam pendidikan. Interaksi yang melibatkan pendidik, peserta didik dan transformasi materi atau bahan kajian terselenggara melalui pem belajaran. Melalui pembelajaran, guru berupaya mengembangkan iklim atau suasana interaksi yang memungkinkan potensi atau kodrat alam anak menemukan ruang artikulasinya. Ki Hadjar memperoleh inspirasi dalam pendirian dan pelaksanaan Perguruan Taman Siswa dari pandangan Friedrik Frobel (1782-1852) mengenai kodrat anak, Maria Montessori (1870-1952) yang mementingkan permainan untuk perkembangan anak dan Rabindranath Tagore (1861-1941) dengan konsep pesanggrahannya dalam berfokus pada hidup kemanusiaan yang religius (Sularto, 2016).
Konsep dan praktik pendidikan Ki Hadjar menempatkan suasana yang menyenangkan dan konteks sosial budaya sebagai fondasinya. Menurutnya, pembelajaran di sekolah tidak boleh berjarak atau tercerabut dari lingkungan sosial budayanya. Nilai-nilai budaya dan persoalan aktual dalam masyarakat perlu diperkenalkan sejak dini kepada anak sehingga terbangun kepekaan dan sikap responsif terhadap lingkungan sekitarnya (Yamin, 2009; Wangsalegawa, 2009).
Metode pembelajaran di Taman Siswa bertumpu pada konsep among. Melalui konsep among, Ki Hadjar menempatkan guru sebagai penuntun untuk membantu anak menemukan arah perkembangannya (Sularto, 2016). Dalam konsep among, guru dituntut menempatkan diri sebagai pendamping dan contoh pertama dari kebiasaan-kebiasaan baik yang hendak ditumbuhkembangkan menjadi karakter anak didik. Konsep among mengisyaratkan perlunya perhatian yang proporsional untuk mengembangkan kemampuan atau pengetahuan praktikal anak dan pada saat bersamaan juga memberi ruang pada internalisasi nilai-nilai kultural, nasionalisme, kedisiplinan, dan lain-lain (Wangsalegawa, 2009). Model pembelajaran among mencerminkan relasi pendidik dan anak didik berlangsung dalam nuansa kekeluargaan penuh kehangatan yang bersumber dari tradisi luhur bangsa Indonesia (Yamin, 2009). Ki Hadjar menegaskan bahwa model pembelajaran colonial yang bertumpu pada perintah dan pemaksaan (order and enforcement) perlu direkonstruksi menjadi model pembelajaran yang mencerahkan jiwa anak. Filosofi among menempatkan pembelajaran sebagai arena ruang aktualisasi peserta didik. Among sebagai sistem praksis pendidikan di Perguruan Taman Siswa menempatkan pendidik sebagai mitra yang memberi ruang kebebasan agar anak bias bergerak menurut kemauannya, sementara pamong akan bertindak (kalau perlu dengan paksaan) apabila kemauan tersebut membahayakan diri anak (Sularto, 2016).
Evaluasi
Evaluasi berfungsi memetakan sejauhmana usaha pendidikan telah mencapai tujuan. Ki Hadjar mengingatkan pentingnya penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan secara seksama kondisi mental anak sehingga tidak berimplikasi negatif untuk tumbuh kembang potensi anak. Ketika menyampaikan pidato sambutan penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, Ki Hadjar Dewantara (2009: 168) menyatakan, “Anak anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tentram karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutantuntutannya.
Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raport atau untuk ijazah.” Ujian harus dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai alat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan. Penilaian semestinya dipahami sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan untuk menetapkan langkah-langkah lanjutan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pendidikan. Evaluasi tidak semestinya ditempatkan sebagai alat menghukum seseorang. Evaluasi semestinya dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai sarana memperoleh informasi yang dijadikan bahan pertimbangan untuk perbaikan berkelanjutan.
Ki Hadjar menekankan pentingnya konteks sosial budaya dalam evaluasi di institusi pendidikan. Sejalan dengan konsepsi yang ditawarkannya tersebut dalam beberapa decade terakhir model evaluasi yang berpijak dan memperhatikan dimensi sosial dan budaya semakin mendapat ruang artikulasi dalam diskursus pendidikan kontemporer (Abma, 2006; Musanna, 2010). Perkembangan model evaluasi tanggap budaya (culturally responsive evaluation) menunjukkan telah terjadinya pergeseran yang mengarah pada semakin diakuinya gagasan yang diletakkan oleh Ki Hadjar mengenai pentingnya dimensi social budaya mendapat perhatian dalam praktik evaluasi pendidikan (Musanna, 2012).
Artikel keren lainnya: