Istilah “Politik Identitas” mewarnai proses demokrasi kita mulai dari pilcaleg, pilkada sampai dengan pilpres. Politik identitas sangat kental terasa baik identitas, kesukuan, ras, agama, etnis sampai dengan organisasi dan kelompok. Akibatnya, sebagian kalangan menilainya sebagai sesuatu yang buruk dan membahayakan keutuhan NKRI.
Ternyata pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019, pemerintah menerapkan sistem zonasi bagi sekolah berdasarkan wilayah tempat tinggal. Jika dipandang dari sudut pemerataan, sistem ini cukup mengisi sekolah-sekolah yang kurang diminati oleh siswa maupun orang tua siswa, namun jika dari sudut keadilan maka sistem ini pada prinsipnya menerapkan “keterpaksaan pilihan” yang dapat berpengaruh pada prestasi dan hasil belajar siswa karena terkait erat dengan motivasi siswa menentukan pilihan.
Akan tetapi, “keterpaksaan pilihan” bukanlah bahaya yang sebenarnya akan dihadapi, tetapi ada bahaya lain yang jauh lebih besar. Menerapkan sistem zonasi sama halnya dengan mengelompokkan masyarakat. Misalnya ada kelompok masyarakat yang tinggal berdasarkan tingkat ekonomi misalnya kawasan elit yang menghuni sebagian besar pusat kota, atau kawasan kumuh termasuk masyarakat ekonomi menengah kebawah biasanya berada dipinggiran kota.
Konsentrasi pemukiman masyarakat penting untuk dipertimbangkan, umumnya pemukiman masyarakat terbentuk berdasarkan suku, ras, agama dan ekonomi. Saya memandang jika sistem zonasi berdasarkan tempat tinggal terus diberlakukan, maka kedepan semua sekolah umum negeri akan berwujud “sekolah identitas”. Ada sekolah elit karena siswanya dari kelompok masyarakat yang menghuni kawasan elit, ada sekolah kumuh karena siswanya berasal dari kawasan masyarakat kumuh, ada sekolah kesukuan karena masyarakatnya berasal dari kelompok masyarakat yang didominasi suku tertentu, ada sekolah yang siswanya hanya ras atau etnis tertentu, ada sekolah umum negeri yang beridentitas agama tertentu, ada sekolah karyawan pabrik tertentu, dan lain sebagainya.
Jika sekolah umum negeri sudah berkembang menjadi “sekolah identitas” maka sama halnya menciptakan bibit-bibit perpecahan yang bermula dari dunia pendidikan khususnya sekolah. Sekolah akan semakin mudah terdampak oleh masalah-masalah sosial dan politik yang berkembang dimasyarakat. Keraguan saya ini cukup beralasan mengingat pemicu konflik sosial selalu bersumber dari kesalahpahaman bangunan politik, komunikasi dan budaya akibat perbedaan suku, ras, agama, ekonomi bahkan tingkat pendidikan, sebaliknya jangan pula menutup mata karena ada konflik sosial yang bersumber dari masalah yang timbul dari siswa.
Mengingat dampak tersebut maka sebaiknya sistem zonasi yang diberlakukan bagi penerimaan siswa baru (PPDB) sebaiknya dihilangkan, biarkan siswa dan orang tua siswa menentukan pilihan sehingga menciptakan bauran siswa yang berasal dari semua latar belakang. Jika ada sekolah yang kurang diminati maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Tingkatkan standar sekolah baik sarana dan prasarana, pembiayaan, kompetensi guru dan manajemen sekolah termasuk kenyamanan sekolah untuk menumbuhkan minat masyarakat terhadap sekolah dimaksud. Jangan sampai “sekolah identitas” tumbuh berkembang karena bisa merugikan kita semua.
Belum ada tanggapan untuk "Bahaya Laten Sistem Zonasi Sekolah pada PPDB 2019: "Sekolah Identitas akan bermula dari sini""
Post a Comment