Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Elearning

Dunia Pendidikan telah mengalami kemajuan pesat seiring dengan kemajuan Teknologi Informasi. Akibatnya, metode pendidikan lama atau konvensional dirasakan menjadi kurang efektif karena terbentur masalah ruang dan waktu. Dan Teknologi Informasi menawarkan metode pendidikan baru yang dinamakan metode E-Learning. 

Sistem pembelajaran elektronik atau e-pembelajaran (Inggris: Electronic learning disingkat E-learning) adalah cara baru dalam proses belajar mengajar. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. 

Dengan e-learning, peserta ajar (learner atau murid) tidak perlu duduk dengan manis di ruang kelas untuk menyimak setiap ucapan dari seorang guru secara langsung. E-learning juga dapat mempersingkat jadwal target waktu pembelajaran, dan tentu saja menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi atau program pendidikan. 

E-learning merupakan salah satu bentuk metode pembelajaran yang dipersepsikan bersifat student centered. Pemanfaatan e-learning diharapkan dapat memotivasi peningkatan kualitas pembelajaran dan materi ajar, kualitas aktivitas dan kemandirian peserta didik, serta komunikasi antara guru dengan peserta didik maupun antar peserta didik.

Kelebihan E-Learning sebagai berikut: 
  1. Tersedianya fasilitas e-moderating dimana pengajar dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara reguler atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat, dan waktu. 
  2. Pengajar dan siswa dapat menggunakan bahan ajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet. 
  3. Siswa dapat belajar (me-review) bahan ajar setiap saat dan dimana saja apabila diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer. 
  4. Bila siswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet. 
  5. Baik pengajar maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak. 
  6. Berubahnya peran siswa dari yang pasif menjadi aktif. 
  7. Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari Perguruan Tinggi atau sekolah konvensional dapat mengaksesnya 


Sebaliknya E-Learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan, yaitu sebagai berikut: 
  1. Kurangnya interaksi antara pengajar dan siswa atau bahkan antara siswa itu sendiri, bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar mengajar. 
  2. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong aspek bisnis atau komersial. 
  3. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan dari pada pendidikan. 
  4. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini dituntut untuk menguasai teknik pembelajaran dengan menggunakan ICT (Information Communication Technology). 
  5. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal. 
  6. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon, dan komputer). (Taufik.net, 2010)


Artikel keren lainnya:

Sejarah Awal Mula dan Perkembangan Pembelajaran Elearning

E-learning pertama kali diperkenalkan oleh Universitas Illionis di UrbanaChampaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer assisted instruktion) dan komputer bernama PLATO. Sejak saat itu, perkembangan e-learning berkembang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. 

Berikut perkembangan e-learning dari masa ke masa: 
  1. Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan Audio) dalam format mov, mpeg-1, atau avi. 
  2. Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat, CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara masal. 
  3. Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, IEEE LOM, dan ARIADNE. 
  4. Tahun 1999: Sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar an maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia, video streaming serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar dan berukuran kecil. 

Berdasarkan perkembangan e-learning dari dari masa ke masa yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi, maka dapat disimpulkan bahwa elearning akan menjadi sistem pemblajaran masa depan. Efektifitas dan fleksibilitas akan menjadi alasan utama. (Tiyas, 2014) 

Dalam paradigma pembelajaran tradisional, proses belajar mengajar biasanya berlangsung di dalam kelas dengan kehadiran guru di dalam kelas dan pengaturan jadwal yang kaku di mana proses belajar mengajar hanya bisa berlaku pada waktu dan tempat yang telah ditetapkan. Peran guru sangat dominan dan bertanggung jawab atas efektivitas proses belajar mengajar dan guru juga menjadi sumber belajar yang dominan. Dalam paradigma sekarang, dengan pendekatan SCL dominasi guru berkurang dan sebagian besar hanya berperan sebagai fasilitator dan bukan sebagai satu-satunya sumber belajar. Sebagai fasilitator guru semestinya dapat memfasilitasi siswa atau siswa agar dapat belajar setiap saat di mana saja dan kapan saja siswa merasa memerlukan. 

Proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan efisien bila didukung dengan tersedianya media yang menunjang. Penyediaan media serta metodologi pendidikan yang dinamis, kondusif serta dialogis sangat diperlukan bagi pengembangan potensi peserta didik, secara optimal. Hal ini disebabkan karena potensi peserta didik akan lebih terangsang bila dibantu dengan sejumlah media atau sarana dan prasarana yang mendukung proses interaksi yang sedang dilaksanakan. 

Media dalam perspektif pendidikan merupakan instrumen yang sangat strategis dalam ikut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Sebab keberadaannya secara langsung dapat memberikan dinamika tersendiri terhadap peserta didik. Dengan keterbatasan yang dimiliki, manusia seringkali kurang mampu menangkap dan menanggapi hal-hal yang bersifat abstrak atau yang belum pernah terekam dalam ingatannya. Untuk menjembatani proses internalisasi belajar mengajar yang demikian, diperlukan media pendidikan yang memperjelas dan mempermudah peserta didik dalam menangkap pesan-pesan pendidikan yang disampaikan. 

Oleh karena itu, semakin banyak peserta didik disuguhkan dengan berbagai media dan sarana prasarana yang mendukung, maka semakin besar kemungkinan nilai-nilai pendidikan mampu diserap dan dicernanya. Kemajuan ICT, proses ini dimungkinkan dengan menyediakan sarana pembelajaran online melalui internet dan media elektronik. Konsep pembelajaran berbasis ICT seperti ini lebih dikenal dengan e-learning. 

E-Learning atau electronic learning kini semakin merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Banyak orang menggunakan istilah yang berbeda beda dengan e-learning, namun pada prinsipnya e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan jasa elektronika sebagai alat bantunya. E-Learning memang merupakan suatu teknologi pembelajaran yang yang relatif baru di Indonesia. 

Untuk menyederhanakan istilah, maka electronic learning disingkat menjadi e-learning. Kata ini terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. 

Pengertian formal istilah elearning diberikan oleh beberapa pakar diantaranya yang banyak diadopsi adalah pendapat Harley, yang menyatakan bahwa e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan Komputer lain. (Airtanah, 2014)

Artikel keren lainnya:

Manfaat, Karakteristik, Kegiatan dan Implementasi Pembelajaran Daring atau Online

Secara sederhana pembelajaran daring merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (Internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitasi serta didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar lainnya

Manfaat pembelajaran daring menurut Bates dan Wulf terdiri atas 4 hal, yaitu: 
  1. Meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru atau instruktur (enhance interactivity), 
  2. Memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility), 
  3. Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang luas (potential to reach a global audience), 
  4. Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities) (Bates, 1997: 15). 

Implementasi pembelajaran daring dengan demikian dapat memberikan manfaat antara lain : 
  1. Adanya kenaikan grafik kualitas perguruan tinggi dan kualitas lulusan, 
  2. Terbentuknya komunitas sharing ilmu tidak terbatas dalam satu lokasi, 
  3. Peningkatan komunikasi yang intens antara guru dan peserta didik, 
  4. Tidak terbatasnya sumber-sumber belajar, 
  5. Meningkatnya kualitas guru dikarenakan mudah guru dalam mendapatkan informasi. 

Mengadaptasi Khoe Yao Tung, karakteristik pembelajaran daring, antara lain: 
  1. Materi ajar disajikan dalam bentuk teks, grafik dan berbagai elemen multimedia, 
  2. Komunikasi dilakukan secara serentak dan tak serentak seperti video conferencing, chats rooms, atau discussion forums, 
  3. Digunakan untuk belajar pada waktu dan tempat maya, 
  4. Dapat digunakan berbagai elemen belajar berbasis CD-ROM, untuk meningkatkan komunikasi belajar, 
  5. Materi ajar relatif mudah diperbaharui, 
  6. Meningkatkan interaksi antara peserta didik dan fasilitator, 
  7. Memungkinkan bentuk komunikasi belajar formal dan informal, 
  8. Dapat menggunakan ragam sumber belajar yang luas di internet (Tung, 2000: 15).

Menurut Khan B.H, menjelaskan terdapat beberapa kegiatan yang harus ada dalam pembelajaran daring, yaitu: 
  1. Meningkatkan perhatian peserta didik, 
  2. Menyampaikan tujuan belajar kepada peserta didik, 
  3. Mendorong ingatan kembali peserta didik tentang informasi yang telah dipelajarinya, 
  4. Menyajikan stimuli secara khusus, 
  5. Memberi petunjuk belajar, 
  6. Memperoleh performan peserta didik, 
  7. Memberikan umpan balik yang informatif, 
  8. Menilai tingkat performan peserta didik, 
  9. Meningkatkan retensi dan transfer belajar (Khan, 1997: 102). 

Keberhasilan sistem pembelajaran daring sangat tergantung dari beberapa komponen baik peserta didik, guru, sumber belajar, maupun teknologi informasi. Komponen-komponen tersebut terintegrasi supaya benar-benar dapat menghasilkan lulusan peserta didik yang berkualitas juga

Artikel keren lainnya:

Beberapa persepsi masyarakat terhadap PAUD bagi guru laki-laki

Secara  historis  masih  berkembang  bahwa  Pendidikan  Anak  Usia  Dini  (PAUD)  identik  dengan  merawat  dan  mengasuh  anak-anak  kecil,  akibatnya  muncul  anggapan  sebagai  kawasan  perempuan  (Murray,  1996;  Steinberg,  1996;  Goldstein,  1997;  King, 1998, Sumsion, 2000). Bahkan pada penelitian yang  semakin  berkembang,  Sumsion  (2000)  mengungkapkan adanya anggapan bahwa pengasuhan  hanya  cocok  bagi  kaum  perempuan  dan  menjadi  tanggung  jawab  seorang  ibu  dan  pria  dianggap tidak mampu melakukannya. 

Penelitian yang dilakukan Suyatno pada tahun 2004, memberikan petunjuk tentang stigma sosial yang melekat pada seorang pria yang mengajar di taman kanak-kanak (Yulindrasari, 2017), namun sayangnya tidak  ada  analisis  lebih  lanjut  pada  hasil  penelitian  tersebut.  

Hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa guru laki-laki  di  PAUD  mengalami  benturan  terhadap  berbagai persepsi, stigma, ataupun pandangan yang berkembang di masyarakat. 

Berikut sejumlah temuan yang  diperoleh  melalui  penelusuran  pustaka  dan  melekat di dalamnya analisis serta pembahasan hasil penelitian kepustakaan.

1. Persepsi  Masyarakat  Terhadap  Guru  Laki-laki  di PAUD

Berdasarkan  referensi  yang  ditemukan, ditemukan  berbagai  persepsi  masyarakat  terhadap  guru laki-laki di PAUD. Berbagai persepsi masyarakat terhadap  guru  laki-laki  di  PAUD  bisa  saja  menjadi  salah  satu  faktor  rendahnya  keberadaan  laki-laki  di  PAUD.  Selain  itu,  rendahnya  laki-laki  dan  dominasi  perempuan  pada  tataran  pendidikan  anak  usia  dini,  bisa  dikarenakan  status  sosial  perempuan  dan  maskulinitas budaya (Druddy, 2008). 

Oleh  karena  itu,  setiap  individu  pada  tataran  bermasyarakat  bisa  saja  memiliki  persepsi  yang  berbeda-beda.  Persepsi  yang  berkembang  di  masyarakat mengenai guru laki-laki di PAUD adalah tidak  cocoknya  kaum  laki-laki  sebagai  pengasuh  anak.  Hal  tersebut  dapat  dilihat  dari  berbagai  kajian  sebelumnya  yang  menyebutkan  bahwa  sebagian  pandangan orang tua dan lembaga-lembaga sekolah masih menganggap bahwa perempuan adalah sosok yang  tepat  untuk  mengajar  di  Taman  Kanak-kanak  (Daitsman, 2011). 

Melihat adanya keengganan laki-laki untuk berada di lingkungan PAUD, dikarenakan salah satunya stigma yang  muncul  terhadap  mereka.  Hal  ini  tentu  akan  menjadikan hambatan atau rendahnya keinginan laki-laki untuk terlibat di PAUD. 

2. Perbandingan  Peran  Guru  Laki-Laki  dan  Perempuan di PAUD

Guru,  baik  laki-laki  ataupun  perempuan  memiliki  peranan  penting  dalam  pendidikan,  ada  sembilan  peran  guru  pada  pendidikan  anak  bagi  peserta  didiknya,  yaitu  berinteraksi,  pengasuhan,  mengatur  tekanan,  memfasilitasi,  perencanaan,  pengayaan,  menangani  masalah,  pembelajaran, serta bimbingan dan pemeliharaan. (Sujiono, 2009). 

3. Gender dan Guru Laki-Laki di PAUD

Secara teoritis, pada usia 3 tahun manusia mulai mengenal jenis kelamin. Pada tahapan perkembangan anak  usia  dini,  salah  satu  tugas  perkembangan  manusia adalah mengenali peran gender laki-laki dan perempuan  untuk  menjadi  bagian  dari  kepribadian  mereka (Papalia & Olds, 2009; Santrock, 2012). 

Hal tersebut memperlihatkan akan keterlibatan laki-laki di PAUD selaras dengan kebutuhan perkembangan anak  terkhusus  bagi  anak  laki-laki.  Walaupun  pada  penelitian Besnard & Letarte (2017) tidak menemukan hubungan  antara  kemampuan  adaptasi  anak  dengan  jenis kelamin guru yang mengajar mereka. 

Namun di sisi lain, sebagaimana telah di sebutkan di atas, bahwa penelitian Lin (2004) menyatakan kolaborasi guru dari kedua jenis kelamin membuat perkembangan psikologis anak-anak  lebih  utuh.  Hal  tersebut  mengindikasikan  bahwa kehadiran laki-laki dianggap dapat melengkapi 
tugas guru perempuan.

Oleh sebab itu ketimpangan gender masih saja dominan  dimana  kesempatan  laki-laki  masih  sangat  sedikit,  untuk  terlibat  di  PAUD  dan  menjadikannya  sebagai profesi. Namun ketika ada perempuan yang dapat  menembus  sektor  pekerjaan  yang  dianggap  strategis  secara  sosio-ekonomi  maka  dia  dianggap  telah  melakukan  stepping  up  atau  melakukan  terobosan strata sosial ke atas. 

Sebaliknya, jika ada laki-laki  yang  bekerja  dalam  bidang  yang  dianggap  wilayah  perempuan,  maka  dia  akan  dianggap  melakukan  gerakan  ke  bawah/mundur  
(stepping - down) (Sandberg & Pramling Samuelsson, 2005). 

Melihat  pada  perspektif  psikologis,  Peeters  (2007)  mengemukakan  bahwa  pelibatkan  laki-laki  dalam PAUD tidak hanya memberi anak-anak model peran  laki-laki,  tetapi  juga  menumbuhkan  konsep  peran  gender  yang  setara,  Perspektif  tersebut  diharapkan dapat membantu mematahkan konstruksi budaya terkait maskulinitas (Drudy, 2008; Erden, 2009; 

Greany,  2012).  Pada  salah  satu  kajian  penelitian,  laki-laki  diyakini  memiliki  kepribadian  yang  mampu  merancang  dan  mempraktekkan  permainan,  yang  hal tersebut tentu sangat di sukai oleh anak-anak dan penting  bagi  perkembangan  psikologis  anak-anak  secara keseluruhan. (Erden, 2009; Gray & Leith, 2004;

Sejalan dengan Jensen (1996) yang menyatakan bahwa  guru  laki-laki  lebih  mampu  daripada  guru  perempuan untuk menanggapi secara efektif anak laki-laki, karena mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perspektif dan pengalaman anak laki-laki. 

Adapun pada penelitian lain kehadiran laki-laki dalam pendidikan anak usia dini akan menguntungkan anak laki-laki karena guru laki-laki lebih banyak melibatkan anak-anak  dalam  proses  belajar  melalui  kegiatan  psikomotorik (Besnard & Letarte, 2017; Sandberg & Pramling-Samuelsson, 2005). 

Namun,  para  peneliti  meyakini  bahwa  peran  laki-laki  penting  di  PAUD,  keberadaan  mereka  bukan hanya untuk anak laki-laki melainkan tentang keseimbangan  peran  dan  tanggung  jawab  gender  yang  selama  ini  menjadi  wilayah  yang  dominan  dengan perempuan. (Besnard & Letarte, 2017). 

Studi mengenai  peran  gender  secara  kritis  menganalisis  pola variasi gender dalam profesi guru dan menyajikan perdebatan  mengenai  dampak  feminisasi  terhadap  pembelajaran  (Esen,  2013;  Gray  &  Leith,  2004;  Greany, 2012; Pesikan & Marinkovic, 2006; Songtao, 2000, Mukhlis 2019).

Artikel keren lainnya:

10 Prinsip Pembelajaran di TK dan PAUD

Pembelajaran  pada  anak  usia  dini  termasuk  Taman  Kanak-Kanak  memiliki  kekhasan  tersendiri.  Kegiatan  pembelajaran  di  Taman  Kanak-Kanak  mengutamakan  bermain  sambil  belajar  dan  belajar  sambil bermain. Secara alamiah, bermain memotivasi anak  untuk  mengetahui  sesuatu  lebih  mendalam,  dan  secara  spontan  anak  dapat  mengembangkan  kemampuannya.  Seperti  hasil  penelitian  yang  dilakukan  Holis  (2016),  dimana  kegiatan  belajar  melalui  bermain  balok  unit  berpengaruh  terhadap  pengembangan kreativitas dan kognitif anak usia dini. Berdasarkan  hal  tersebut,  tentu  disadari  bahwa menyajikan pembelajaran di TK tidaklah sama dengan  pembelajaran  pada  kelompok  usia  lainnya.

Pembelajaran di TK dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran, yaitu 1). berorientasi pada kegiatan  bermain;  2).  berorientasi  pada  kebutuhan   anak;  3).  sesuai  dengan  perkembangan  anak;  4).  menempatkan  anak  pada  subjek;  5).  menggunakan  pendekatan  tematik,  6).  pembelajaran  yang  aktif,  kreatif,  efektif,  dan  menyenangkan  (PAKEM);  7).  mengembangkan  kecakapan  hidup;  8).  lingkungan  yang  kondusif;  9).  pembelajaran  yang  demokratis;  dan 10). pembelajaran yang bermakna (Aqib, 2009). 

Pelaksanaan  prinsip-prinsip  pembelajaran  tersebut  tentunya  akan  memberikan  dampak  positif  pada  perkembangan anak. 

Prinsip  pertama,  yaitu  pembelajaran  yang  berorientasi  pada  kegiatan  bermain  dapat  meningkatkan  berbagai  aspek  perkembangan  anak. Hal  ini  dapat  diketahui  dari  hasil  penelitian  Pratiwi  (2017), dimana aspek perkembangan motorik, sosial, emosional, dan bahasa anak akan berkembang, jika dalam kegiatan main anak usia dini didukung oleh tiga jenis main yaitu: main sensorimotor, main peran, main konstruktif. 

Adanya kegiatan bermain yang diberikan kepada  anak  juga  tentunya  membuktikan  bahwa  pembelajaran  tersebut  berorientasi  pada  kebutuhan  anak,  dimana  kebutuhan  anak  yang  utama  adalah  bermain.  Seperti  yang  dikatakan  Rohmah  (2016),  bermain merupakan hak dan kebutuhan setiap anak. 

Pembelajaran  yang  efektif  juga  akan  tercipta  apabila  pembelajaran  diberikan  berdasarkan  prinsip  sesuai kebutuhan dan perkembangan anak. Samiudin (2017)  menemukan  bahwa  cara  pembelajaran  yang  akan dipergunakan sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi/  tingkatan  yang  ada  pada  anak  agar  anak  dengan  mudah  memahami  materi  yang  diberikan.  

Hal  ini  juga  didasarkan  pada  teori  kognitif  dimana  Jean Piaget menyatakan bahwa anak usia prasekolah berada pada tahap berpikir praoperasional. Berbagai stimulasi yang diberikan harus disertai dengan media konkrit agar memudahkan pemahaman anak.

Pendekatan  tematik  merupakan  salah  satu prinsip yang juga harus diperhatikan dalam memberikan pembelajaran  bagi  anak  usia  dini.  Pendekatan  tematik  merupakan  salah  satu  pendekatan  yang digunakan  dalam  kurikulum  2013.  Dalam  model  pembelajaran  tematik  terpadu  di  PAUD,  kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk satu tema, sub tema, atau sub-sub tema dirancang untuk mencapai secara bersama-sama  kompetensi  sikap,  pengetahuan, dan  keterampilan  dengan  mencakup  sebagian  atau  seluruh aspek pengembangan. Joni (2009) menuliskan bahwa pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara aktif dalam  proses  pembelajaran,  sehingga  siswa  dapat  memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.

Selain  pendekatan  tematik,  pembelajaran  untuk anak usia dini juga menggunakan pendekatan PAKEM  (pembelajaran  aktif,  kreatif,  efektif,  dan  menyenangkan). Keterlaksanaan pendekatan ini dapat meningkatkan kemampuan anak. Hal ini diketahui dari hasil penelitian Rohaniawati (2016), yaitu menuliskan bahwa hasil analisis keterampilan berpikir mahasiswa pada mata kuliah Pengembangan Kepribadian Guru dengan menggunakan pendekatan PAKEM diketahui hampir  meningkat  pada  setiap  pertemuannya.  Hasil  aktivitas mahasiswa pada siklus 1 sebesar 91%, pada siklus  2  mencapai  100%  begitu  juga  pada  siklus  3  mencapai 100%. 

Kecakapan hidup, yang dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk berjuang berani hidup (survival) harus juga diperhatikan dalam menyajikan pembelajaran kepada anak. Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skills) pada dasarnya merupakan upaya  untuk  memperkecil  perbedaan  (gap)  antara  dunia pendidikan dengan kehidupan nyata sehingga pendidikan akan lebih realistis dan lebih konstektual dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari (Noor, 2015).  

Hal  senada  juga  disampaikan  Suprihatin  &  Dewi (2018), bahwa life skill education is an education that provides basic supplies and training to learners about the values of life needed and useful for the development of everyday life. 

Prinsip  lain  yang  juga  harus  dilakukan  agar  tercipta  pembelajaran  efektif  adalah  menciptakan  lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondusif dapat  dimaknai  dengan  tersedianya  sumber  belajar  yang dapat mendukung pembelajaran anak, terutama sumber  belajar  yang  berasal  atau  yang  tersedia  di  
lingkungan. Choiri (2017) menuliskan bahwa sumber belajar lingkungan ini akan menambah wawasan dan pengetahuan anak karena mereka mengalami secara langsung  dan  dapat  mengoptimalkan  potensi  panca  inderanya  untuk  berkomunikasi  dengan  lingkungan  tersebut.    Terkait  dengan  lingkungan  yang  kondusif,  kemampuan  guru  menciptakan  kelas  yang  kondusif  juga  dapat  menghindari  siswa  dari  kejenuhan,  kebosanan dan kelelahan psikis sedangkan disisi lain kelas yang kondusif akan dapat menumbuhkan minat motivasi dan daya tahan belajar. (Arianti, 2017) Lingkungan yang kondusif dapat menciptakan pembelajaran  yang  bermakna.  

Hidayati  (2016)  menuliskan  bahwa  kegiatan  pembelajaran  akan  bermakna,    jika  dilakukan  dalam  lingkungan  yang  nyaman, memberikan rasa aman, bersifat kontekstual, anak mengalami langsung sesuatu yang dipelajarinya. Terkait  pembelajaran  bermakna,  Berry  (2012)  menjelaskan  “ it is learning with a purpose, learning which allows those who engage in it to attach more meaning to the world around them, learning in which things  make  more  sense”.  Di  dalam  penelitiannya  yang  berjudul  pengaruh  penerapan  pembelajaran  bermakna (meaningfull learning) pada pembelajaran tematik  IPS  terpadu  terhadap  hasil  belajar  siswa  kelas III di MI Ahliyah IV Palembang, Najib & Elhefni (2016)  menemukan  bahwa  terdapat  pengaruh  yang  signifikan  penggunaan  pembelajaran  bermakna  (meaningfull  learning)  terhadap  hasil  belajar  siswa, sehingga dikatakan pembelajaran bermakna (meaningfull  learning)  dapat  meningkatkan  hasil  belajar siswa di MI Ahliyah IV Palembang.

Pembelajaran  di  TK  juga  harus  bersifat  demokratis.    Anak  harus  diajarkan  untuk  menjadi  warga  Negara  yang  baik  yang  dapat  menghargai  dan menghormati oranglain. Lovat & Toomey (2009) menuliskan “The concept of democracy must be the basis to prepare for the responsibilities of citizenship. Democracy and related notions should be both content and method in the pre-school. In this sense, democracy becomes an object of learning as well as informing the act of learning. This implies that children have to both think about democracy and experience democracy in pre-school” (OECD, 2006).

Pelaksanaan  prinsip-prinsip  pembelajaran  tersebut  tentu  ditujukan  agar  pembelajaran  yang  diberikan  kepada  anak  usia  dini  dapat  memberikan  hasil  sesuai  dengan  tujuan  yang  diharapkan  yaitu  mendukung  perkembangan  anak  secara  optimal.  

“Curricula that are in accordance with the guidelines must contain activities that stimulate children's development so that they are ready to continue their education to a higher level of education. It is not only a fun set of activities that make children busy but it is an activity that has the purpose of helping children develop their skills and knowledge” (NAEYC and  NAECS  /  SDE  dalam  Rohita  &  Sekarlawu 2018). 

Untuk itu diperlukan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran yang tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran harian. Hal lain yang juga  diperlukan adalah kemampuan guru dalam melakukan penilaian  pembelajaran,  dimana  hasil  penilaian tersebut  menjadi  bahan  evaluasi  guru  mengenai  ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Pengelolaan kelas juga  diperlukan  agar  anak  didik  dapat  berkegiatan  dengan aman, nyaman, dan menyenangkan yang pada akhirnya mendukung proses pemahaman anak pada materi yang disampaikan. Terkait materi, guru harus memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai materi tersebut dan kemampuan dalam menyampaikannya. 

Akan  tetapi  tidak  semua  guru  mampu  menciptakan pembelajaran yang efektif. Guru belum menerapkan pembelajaran tematik di sekolah terlihat pada rencana pembelajaran yang dibuat tidak sesuai dengan  kegiatan  pembelajaran  yang  dilakukan  oleh  guru. Terjadinya hal tersebut salah satunya disebabkan oleh  pemahaman  guru  mengenai  kurikulum  dan  pengalaman mengajar guru (Sari, Risyak & Sasmiati, 2015). 

Artikel keren lainnya: