Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) dalam era revolusi industri 4.0

Pendidikan merupakan wadah awal dalam memulai proses belajar. Wadah atau tempat yang menaungi pendidikan biasanya disebut dengan lembaga. Lembaga terdiri dari pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal biasanya terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTS), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Kejuruan. Sedangkan pendidikan non formal biasanya lebih menekankan pada aspek pengembangan seperti les atau privat. Pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan sistem dalam penerapannya seperti perubahan kurikulum, dari KTSP hingga menjadi Kurikulum 2013.

Tindakan atau perubahan ini dilakukan bukan menjadi bahan cobaan pemerintah, namun dilakukan perubahan ini sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan di sini adalah perkembangan pendidikan yang sudah memasuki era keterbukaan atau era globalisasi. Era keterbukaan atau era globalisasi ditandai dengan mudah mendapatkan informasi melalui media atau teknologi. Teknologi dalam abad era globalisasi sering disebut dengan era digital atau era revolusi industri 4.0 yang mengharapkan sumber daya manusia berkualitas atau memiliki keterampilan. 

Era revolusi industri 4.0 menjadi tantangan atau hambatan bagi suatu lembaga namun sebaliknya mampu menjadi pembantu dalam menciptakan intelektual yang cerdas demi mewujudkan citacita bangsa yaitu membelajarkan manusia.

Menjadikan manusia pembelajar bukan hal mudah seperti membalikkan telapak tangan. Oleh karenanya, lembaga yang sukses adalah lembaga yang mampu menyeimbangkan pendidikan dengan perkembangan zaman. Mengembangkan pendidikan dalam abad keterbukaan (century of opennes) bukan perkara mudah seperti memberikan inspirasi. Demikian perlu penginovasian untuk menyetarakan antara pendidikan era revolusi industri 40 dengan karakter.

Akhir-akhir ini sering terjadi kasus kekerasan terhadap anak termasuk di sekolah. Berdasarkan penelitian beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan oleh UNICEF membuktikan bahwa sekitar 80% masih rawan kekerasan di lingkungan sekolah yang dilakukan pendidik kepada siswa. Perihal ini sangat mengejutkan oleh para ahli pendidikan. Dalam tataran pendidikan, sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi anak didik. Namun realita yang terjadi di beberapa sekolah masih banyak kekerasan yang dilakukan pendidik terhadap siswa di lingkungan sekolah. 

Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, namun dalam keluarga sekalipun dapat terlihat dari beberapa kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan selalu anak menjadi korban. Kejadian ini akan mengakibatkan penurunan karakter pada anak, seperti anak akan keras kepala atau berkarakter keras, pemarah, bahkan akan acuh tak acuh dalam melakukan sesuatu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penginovasian dalam suatu lembaga termasuk sekolah. 

Pendidikan di sekolah seharusnya menerapkan serta mengembangkan pembelajaran humanistik yang menekankan penciptaan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan dengan memperhatikan dan mengkolaborasikan potensi yang dimiliki anak sesuai dengan perkembangan fisik dan psikis jiwa. Bukan hanya di sekolah, di dalam lingkungan masyarakat harus mampu mengutamakan kasih sayang yang mengedepankan kenyamanan dan perlindungan terhadap anak.

Hal ini selaras dengan Undang-undang No. 23 Pasal 54 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa: “Anak wajib dilindungi dari berbagai tindakan kekerasan yang sering dilakukan dalam lingkungan masyarakat (orangtua) dan sekolah (guru, dan pengelola sekolah) serta lembaga pendidikan yang bersangkutan (formal dan non formal), agar mampu menciptakan ketenangan dan kenyamanan demi mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan.

Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa anak memiliki hak untuk hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat, martabat manusia serta harus mendapatkan perlindungan dari kekerasan atau diskriminasi orang dewasa (guru dan lapisan masyarakat). Untuk merealisasikan undang-undang di atas maka diperlukan inovasi baru, yaitu dengan sekolah ramah anak (SRA), yang diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan tenang untuk mampu mengembangkan minat, bakat serta potensi yang dimilki anak didik sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan era revolusi industri 4.0. 

Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan inovasi terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengefektifkan proses pembelajaran. Dalam tataran pendidikan, menciptakan suasana belajar ramah anak tidak mudah, karena sekolah harus memiliki indikator-indikator yang harus dipenuhi, agar dapat pengakuan sebagai sekolah ramah anak. Sekolah ramah anak harus diterapkan pada pendidikan awal terlebih dahulu, karena pendidikan dasar akan menjadi penentu nantinya dalam pendidikan selanjutnya yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipahami dalam mewujudkan sekolah ramah anak yaitu: Anak terlibat aktif dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan masa depannya, keluarga dan lingkungan sekitar, memberikan hak-hak anak dalam menopang perkembangan dan pertumbuhan untuk mengembangkan potensinya, memberi ruang bagi anak dengan cara mengadakan sarana prasarana untuk bermain, berinteraksi serta berkreasi dengan teman-teman sejawatnya dan guru harus mampu menjamin kenyamanan, serta menanamkan menghargai perbedaan pendapat (ras, suku, budaya dan agama). Sedangkan dalam pendidikan Islam, pendidikan ramah anak lebih berfokus pada ikatan cinta dan kasih sayang yang mengedepankan kebersamaan bukan perkelahian.

Daftar Pustaka

Yusrizal, Intan Safiah, and Nurhaidah, “Kompetensi Guru Dalam Memanfaatkan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Di SD Negeri 16 Banda Aceh,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Unsyiah 2, no. 2 (2017): 126–134. 

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 1st ed. (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 5.

Imam Abdul Syukur, “Profesionalisme Guru Dalam Mengimplementasikan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di Kabupaten Nganjuk,” Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan 20, no. 2 (2014): 200–210. 

Sukaca Bertiani and Hariwijaya, PAUD: Melejitkan Potensi Anak Dengan Pendidikan Sejak Dini (Yogyakarta: Mahadika Publishing, 2009), hlm. 15.

Kholid Musyaddad, “Problematika Pendidikan Di Indonesia,” Journal Education and Biology 4, no. 1 (2013).

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, 2007. 

Misnatun, “Pola Pembentukan Karakter Anak Melalui Pendidikan Ramah Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam,” Tadarus: Jurnal Pendidikan Islam 5, no. 2 (2006): 1–19.

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) dalam era revolusi industri 4.0"

Post a Comment