Dalam bahasa sederhananya, istilah integrasi berasal dari kata kerja berbahasa Inggris to integrate yang artinya adalah “to join to something else so as to form a whole” (menggabungkan kepada sesuatu yang lain sehingga terciptalah keterpaduan/keseluruhan). Istilah integrasi ilmu pengetahuan berarti menggabungkan beberapa disiplin ilmu menjadi satu. Sementara itu, istilah paradigma bisa dimaknai sebagai sekumpulan anggapan tentang bagaimana seseorang melihat, memahami dan menerima fenomena. Suatu paradigma digunakan seseorang untuk memecah/memilah kompleksitas dunia agar mudah dipahami. Tujuannya adalah agar seseorang tersebut mudah membedakan dari fenomena tersebut manakah yang sah dan manakah yang masuk akal. Dengan demikian, integrasi sebagai paradigma akan digunakan untuk melihat eksistensi dan realita pemberlakuan K-13
Dalam sejarahnya, upaya melakukan integrasi keilmuan dilatarbelakangi karena adanya dikotomisasi ilmu pengetahuan yang justru merugikan umat manusia. Dikotomisasi ilmu agama dan ilmu umum di Indonesia telah menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan tidak sehat dan juga menyebabkan ilmu agama tidak berkontribusi bagi umat manusia. Oleh sebab itulah integrasi keilmuan sangat diperlukan. Dalam perkembangan kajian integrasi keilmuan, sebenarnya terdapat banyak model integrasi keilmuan. Salah satunya adalah islamisasi ilmu. Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang awalnya digagas oleh Naquib Al-Attas dari Malaysia dan kemudian diteruskan menjadi gerakan intelektual internasional dengan dipimpin oleh Ismail Raji Al-Faruqi dari lembaga pemikiran Islam internasional di Amerika Serikat menjelang 1980-an.
Model lain adalah sebagaimana yang dikembangkan oleh Amin Abdullah dengan istilah integrasi-interkoneksi. Secara istilah, interkoneksi berarti menghubungkan beberapa hal. Jika dibandingkan dengan model integrasi yang lain, integrasiinterkoneksi termasuk model penyatuan keilmuan yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu lain dengan tidak meninggalkan sifat kritis. Artinya walaupun terdapat penyatuan dari beberapa ilmu, identitas keilmuan masing-masing ilmu tersebut masih kelihatan eksistensinya. Peleburan ini tidak benarbenar pelumatan menghilangkan sifat asli partikel keilmuan yang digabungkan. Setiap ilmu sekadar memberikan kontribusi karakteristiknya masing-masing untuk membentuk satu keterpaduan dalam tema tertentu.
Dalam pemberlakuan K-13, penggunaan paradigma integrasi interkoneksi ini sebenarnya sangat bisa dirasakan. Ini bisa dilihat terutama dalam pendidikan tingkat sekolah dasar. K-13 mengatur bahwa penyampaian materi untuk SD/MI menggunakan pendekatan tematik integratif dari kelas 1 sampai kelas VI. Pembelajaran tematik-integratif sering disebut dengan istilah pembelajaran terpadu atau integrated teaching and learning. Eksistensi pelaksanaan pembelajaran tematik-integratif dalam K-13 ini ditunjukkan dengan sistem pembelajaran yang memadukan satu atau beberapa mata pelajaran dari suatu pokok bahasan dan konsep tertentu ke dalam satu tema tertentu secara terencana.
Dalam satu tema, materi yang disampaikan sebenarnya terdiri dari beberapa mata pelajaran. Pembelajaran tematik integratif dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran berupaya mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema. Pengintegrasian tersebut dilakukan dalam kompetensi dan konsep dasar sekaligus. Dalam kompetensi, terdapat integrasi sikap spiritual, sikap sosial, keterampilan, dan pengetahuan. Sementara dalam konsep dasar, proses pembelajaran akan mengintegrasikan beberapa proposisi dasar setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan tema yang ditentukan. Keterpaduan dengan menggunakan tema ini akan menghubungkan satu persoalan dengan persoalan lainnya, sehingga keterpaduan tersebut akan membangun kesatuan (unity) pengetahuan.
Alasan lain mengatakan bahwa pelaksanaan K-13 untuk tingkat sekolah dasar yang berprinsipkan tematik-integratif tersebut sesuai dengan paradigma integrasi-interkoneksi adalah sifat perpaduan (integrasi) beberapa materi pelajaran dalam satu tema tersebut bukan benar-benar melumat atau menghilangkan karakteristik mata pelajaran tersebut. Setiap mata pelajaran bisa dipertahankan karakteristiknya masing-masing sehingga kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran dalam satu tema tetap dapat dibedakan dengan mata pelajaran lain. Perpaduan seperti inilah yang dimaksud dengan integrasi-interkoneksi, yakni model penyatuan keilmuan yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu lain.
Melalui pola ini, aspek sikap/perilaku, keterampilan, dan pengetahuan dapat diperoleh secara komprehensif dan integratif dalam satu pokok tema pembahasan yang disampaikan dalam waktu dan proses belajar mengajar yang bersamaan. Inilah sekian landasan teoretis mengapa begitu urgensinya mengembangkan KD sikap spiritual dalam materi IPA Kelas VI. Meskipun materi IPA berkaitan dengan procces scientis, tetapi keberadaan spiritual tidak bisa diremehkan. Sesuai dengan karakteristik K-13, sikap spiritual juga harus ditanamkan kepada siswa sebagaimana kompetensikompetensi yang lain.
Pustaka
Asfiati. Pendekatan Humanis dalam Pengembangan Kurikulum. Medan: Perdana Publishing, 2016.
Riyanto, Waryani Fajar. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Intelektual M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Suka Press, 2013
M.Q. Patton, Qualitative Evaluation and research Methods, C.A: Sage, Newburk Park, 1990 dalam Erlyn Indrti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah telaah Filsafat Hukum, Pidato pengukuhan guru besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada 4 November 2010, hlm 15.
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 96–97.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 7.
Subroto dan Herawati, Pembelajaran Terpadu: Materi Pokok PGSD (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2004), hlm. 19
Hartono, Pendidikan Integratif (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 57.
Suyanto dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global (Jakarta: Esensi (Erlangga Group), 2013), hlm. 252.
Belum ada tanggapan untuk "Paradigma Integrasi Interkoneksi Bagi Kurikulum 2013 "
Post a Comment