Media literacy dikonsepkan sebagai “…the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003).” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.
Rubin dalam Prihandini (2007) menjelaskan tiga definisi media literacy.
Pertama, kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan.
Kedua, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat.
Ketiga, yaitu memahami budaya, ekonomi, politik dan pemaksaan teknologi dalam menciptakan, memperoduksi dan mentransmisi pesan.
Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Pemikiran sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep media literacy. Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi komunikasi Kanada Marshall McLuhan, ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky, filosof Prancis Jean Baudrillard, kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman, dan perintis media education Amerika: Renee Hobbs. Landasan teoritis media literacy sendiri bersumber dari tradisi pemikiran kiri, yang berkembang dalam cultural studies (Leftist Cultural Studies). Seperti diungkapkan Livingstone (2004), media literacy adalah “… a synthesizer of media education projects dating back to 1920s … act as an umbrella term for teaching practices that make students aware of the construct of mass media.”
Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Sesungguhnya, media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media literacy bukanlah media education, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang pertama. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak (Astuty, 2007).
Sementara itu Silverblatt’s (dalam Baran 2012) mendefinikan lima elemen media literacy;
- Kesadaran akan dampak media massa pada individu dan masyarakat, pemahaman terhadap proses komunikasi massa,
- Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media,
- Kesadaran isi media sebagai teks yang memberikan masukan bagi budaya kontemporer dan diri kita,
- Pengolahan rasa senang kepada media, pemahaman dan penghargaan akan isi media.
Elemen-elemen kunci dalam literasi media adalah literasi media tidak terbatas pada satu medium, memerlukan kecakapan, memerlukan tipe tertentu dari pengetahuan dan selalu berkaitan dengan nilai Potter (dalam Adiputra, 2009). Potter menjelaskan bahwa konsep literasi memiliki pondasi pada tiga ide dasar.
Pertama, literasi media adalah sebuah kontinum, bukan sebuah kategori. Semua orang memiliki pemahamn tentang media, walaupun hanya berbeda tingkatan. Tidak seorangpun yang tidak memahami media dan tidak seorangpun yang benar-benar memahami media dengan lengkap. Sehingga kekuatan perspektif seseorang ditentukan oleh kualitas dari struktur pengetahuannya.
Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Struktur pengetahuan seseorang terdiri dari informasi yang berasal dari empat dimensi, yakni kognitif, emosional, estetik dan moral. Dimensi kognitif berkaitan dengan fakta yang terdapat di dalam informasi. Dimensi emosional berisi informasi yang berkaitan dengan perasaan seperti cinta, benci, bahagia, sedih, marah dan sebagainya. Dimensi estetik berkaitan erat dengan apresiasi terhadap pesan dan yang terakhir adalah dimensi moral yang berkaitan dengan nilai.
Ketiga, tujuan dari literasi media adalah memberikan control terhadap penafsiran suatu pesan. Pesan memiliki banyak tingkatan makna. Semakin tinggi tingkat literasi media yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak makna yang dapat digalinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat literasi media seseorang, semakin sedikit atau semakin dangkal pesan yang didapatnya. Seseorang dengan tingkat literasi media yang rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi dan satire atau membangun pandangan dunia luas. Seseorang yang memiliki tingkat literasi media yang rendah akan mudah menerima makna yang disodorkan oleh media begitu saja tanpa melakukan refleksi kritis lebih lanjut.
Pustaka
Adiputra, Wisnu Martha. 2006. Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta. Fisipol UGM
Astuti, Sandi Indra. 2007. Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme. Bandung. Jurnal Issue (Jurnal ISKI Bandung) Vol 1 No.1 Agustus 2007
Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd edition). New York. McGraw-Hill.
Prihandini, Isti. 2007. Pelajaran Media Literacy dan Kemampuan Melek Media. Jurnal Thesis Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Univesitas Indonesia Volume VI/No.3 September-Desember 2007
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian, Elemen dan Konsep Media Literacy"
Post a Comment