Perkembangan dunia media massa di Indonesia, khususnya dunia televise mencapai level yang luar biasa sejak era reformasi, meski perkembangan dunia televise Indonesia sudah di mulai sekitar dua puluh tahun yang lalu. Tahun 1989 baru terdapat 2 stasiun televisi yaitu TVRI dan RCTI. Sekarang ini terdapat 11 stasiun TV skala nasional dan ratusan stasiun TV berskala lokal yang tersebar hampir disetiap ibukota propinsi bahkan sampai tingkat kabupaten.
Dari sisi kuantitas, khalayak televisi di Indonesia disuguhi pesan televisi yang luar biasa besar, namun dari sisi kualitas miskin makna. Selama satu dekade terakhir sajian televisi nyaris tidak berubah. Hampir sepanjang hari kita akan disuguhi oleh gunjingan dan gosip para selebriti lewat infotainment. Sejak pagi-pagi buta selepas siaran dakwah atau kuliah subuh, yang berisi pesan untuk tidak ber-ghibah satu jam setelahnya kita sudah disuguhi siaran yang berisi infotainment. Di waktu yang lain kita akan disuguhi oleh televisi dengan tayangan reality show yang isinya tidak lebih dari kontak jodoh dan pengungkapan kisah perselingkuhan, pertengkaran dan perceraian. Acara-acara tersebut tersebar pada hampir seluruh stasiun televisi.
Keprihatinan seputar dampak negatif televisi, juga media massa lainnya kepada anak-anak dan remaja melahirkan gagasan media literacy. Media literacy pada awalnya dikonsepsikan sebagai semacam keterampilan untuk memahami sifat komunikasi terutama pada media telekomunikasi dan media massa. Sejatinya konsep ini diterapkan pada beragam gagasan untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Literasi media adalah sebuah keterampilan yang diperlukan setiap orang dalam interaksinya dengan pesan media massa. Dimana target utamanya adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan fisik dan mental.
Belakangan ini, akademisi, pemerhati budaya maupun pakar-pakar pendidikan banyak mengkritisi media massa terkait dampak negative yang ditimbulkannya. Media massa di Indonesia, khususnya televisi (dan belakangan film), dianggap ‘menghambat rekonstruksi kebudayaan’ (Siregar, 2008), ‘memperkeruh moral publik’ walaupun di sisi lain seiring dengan perubahan paradigma pola asuh memberi pembelajaran bagi mahasiswa untuk berkiprah dalam ruang publik yang demokratis lewat demonstrasi.
Pasalnya, dengan terbukanya keran kebebasan pers, media massa semakin berani mempertontonkan hal-hal yang semula dianggap tabu bagi masyarakat. Di satu sisi, seperti dalam penelitian Basir, hal ini memberikan efek positif karena masyarakat, khususnya generasi muda, mendapatkan pola asuh yang berbeda dari pola asuh otoriter tradisional. Di sisi lain, kehadiran media massa yang belum mampu secara dewasa menyikapi kebebasannya menyebabkan ekses-ekses negatifnya seperti pornografi, pelanggaran batas privasi, ekspos kekerasan dan mistik supranatural yang berlebihan.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tengah situasi semacam ini persisnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pendidikan merupakan institusi yang penyelenggaraannya secara umum dilaksanakan oleh pranata-pranata pendidikan seperti sekolah, lembaga adat dan lembaga agama, sesuai dengan salah satu fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas kemanusiaan siswa didik melalui sosialisasi pengetahuan dan nilai-nilai (cultural maintenance). Data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2000 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penduduk dewasa Indonesia di depan televisi juga berkisar 4 jam sehari. Jumlah yang dihabiskan anak-anak diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding dengan orangtuanya, (Lie, 2004).
Sayangnya ditengah kondisi membanjirnya pesan berbagai pesan televisi tersebut masih terdapat banyak hal yang perlu disikapi dengan kritis. Pertama, tidak semua pesan televisi tersebut baik dan berguna untuk masyarakat. Kedua, kondisi dan keadaan masyarakat Indonesia seperti dibiarkan oleh Negara dan kelas terdidik tanpa memiliki kemampuan yang memadai dalam menyaring informasi yang disampaikan media massa. Karena itu kehadiran literasi media televisi sangat diperlukan. Pertanyaan utama yang kemudian mengemuka adalah bagaimana menggagas model pendidikan literasi media yang dapat diterapkan di Indonesia terutama pada masyarakat lokal yang senantiasa memiliki perbedaan nilai dan budaya. Implikasi dari permasalahan itu adalah: pertama, karena secara formal maupun informal pendidikan literasi media belum diterapkan di Indonesia maka model pendidikan literasi harus dikembangkan melalui riset dengan mengacu pada hasil riset dari mancanegara. Kedua, mengingat kebanyakan model dikembangkan di mancanegara maka belum tentu model-model tersebut sesuai dangan kondisi masyarakat Indonesia sehingga harus dilakukan seleksi ketat untuk menemukan model yang paling sesuai untuk dikembangkan.
Pustaka
Astuti, Sandi Indra. 2007. Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme. Bandung. Jurnal Issue (Jurnal ISKI Bandung) Vol 1 No.1 Agustus 2007
Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd edition). New York. McGraw-Hill.
Fardiah, Dedeh. 2009. Hegemoni Pasar Tayangan Anak-anak di Televisi. Unpad Press. Bandung
Potter, W. James. 2004. Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London. Sage Publication.
Prihandini, Isti. 2007. Pelajaran Media Literacy dan Kemampuan Melek Media. Jurnal Thesis Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Univesitas Indonesia Volume VI/No.3 September-Desember 2007
Triputra, Pinkey. 2004. Dilema Industri Penyiaran di Indonesia: Studi tentang Neoliberalisme dan Perkembangan Pertelevisian di Era Orde Baru dan Reformasi. Disertasi. Jakarta. Universitas Indonesia
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Peran Penting Program Literasi Media dalam Dunia Pendidikan di tengah Pesatnya Perkembangan Media Massa"
Post a Comment