Di Teluk baguala hiduplah seekor Buaya Tembaga yang baik hati. Buaya ini disebut Buaya Tembaga karena kulitnya berwarna kekuning-kuningan serupa warna tembaga. Panjangnya lebih dari lima meter. Sebenarnya orang-orang sebelumnya memanggilnya dengan nama Pakuela . Buaya ini sangat dihormati karena selain sakti, mengerti bahasa manusia, dan juga baik hati. Pakuela pernah membantu mengantar rombongan sepuluh keluarga dari Nusa Ina atau Pulau Seram dengan naik di atas punggungya, melewati lautan yang ganas. Orang-orang itu kemudian bermukim di gunung Ariwakang. Satu dari antara orangorang yang pernah merasakan kebaikan hati Pakuela itu adalah Simauw. Wajar sajalah jika Simauw pada akhirnya merasa berutang budi dan cemas kalau ada sesuatu yang menimpa diri Pakuela. Karena merasa berhutang budi, Simauw memutuskan untuk tinggal dan menjaga Pakuela.
Pada suatu hari, datanglah sepasang suami istri memohon bantuan Pakuela. Mereka berasal dari wilayah selatan Pulau Buru. Kampung mereka diliputi kegelapan karena masyarakat tidak dapat mengambil biji bintanggur untuk dibuat kanjoli . Ada seekor ular besar yang telah mendiami pohon bitaggur. Ular tersebut sangat sakti dan suka membunuh siapa dan apa saja yang berani melewati pohon bitanggur. Ular besar juga tidak segan-segan memangsa binatang peliharaan masyarakat. Mendengar penjelasan kedua orang tersebut, Pakuela terdiam dan meresapi kegelisahan yang muncul di hati setiap warga di sana. Tidak lama kemudian, Pakuela mengibas pelan ekornya, kemudian bergegas masuk ke dalam istananya. Sebagai orang yang sangat mengenal gerak-gerik Pakuela, Simauw langsung paham apa yang hendak sisampaikan Pakuela. Dia memberitahukan kepada sepasang suami istri tersebut bahwa Pakuela telah setuju akan membantu mereka. Oleh karena itu, mereka dipersilahkan untuk kembali ke desa mereka dan mempersiapkan kedatangan Pakuela tiga hari ke depan.
Tiga hari kemudian, Pakuela memenuhi janjinya. Kedatangannya disambut oleh masyarakat desa. Di antara kerumunan masyarakat desa, terlihat sepasang suami istri yang datang ke Teluk Baguala. Mereka ternyata adalah bapak dan ibu raja. Pakuela datang bersama-sama dengan Simatauw dan tiga saudaranya, yaitu Titariuw, Tuatanassy, dan Parera. Mereka berempat telah dikenal luas sebagai pendekar gunung Ariwakang yang sangat ditakuti banyak orang. Merekalah sabahat setia Pakuela sejak lama.
Setiap mata yang melihat tubuh Pakuela nyaris memandang dengan tak berkedip, seakan tak percaya dapat melihat langsung seekor buaya dengan ukuran tubuhnya yang tidak seperti kebanyakan ukuran buaya biasa. Warnanya yang kekuning-kuningan inilah membuat Pakuela dijuluki orang-orang dengan sebutan Buaya Tembaga.
Barisan gerigi tajam yang mengkilat ditimpa sinar dan menghiasi sekujur tubuhnya. Gerigi itu terlihat seperti senjata yang mematikan, berbaris rapi di kedua samping dari paling kecil di bagian kepala dan makin membesar ke belakang, hingga di bagian ekor. Jika kulit buaya pada umumnya sudah keras, maka kulit Pakuela lebih dasyat lagi. Senjata tajam seperti tombak belum tentu mampu menembus dan berhasil menggores kulitnya.
Ketika sampai di tepi pantai desa di Buru Selatan, rombongan Pakuela kemudian diantar oleh bapak raja menuju tempat tinggal sang ular. Ketika sampai, empat pendekar dari gunung Ariwakang langsung maju beberapa langkah ke depan. Tanpa dikomando, mereka lalu mengambil sikap berdiri mematung dengan tangan di dada. Bagi orang dunia persilatan, sikap seperti ini dikenal sebagai salah satu sikap semedi. Mereka berempat memilih menyaksikan pertarungan Pakuela dalam sikap semedi, sedangkan bapak raja memilih untuk berada di seberang sungai.
Pakuela terus mendekat. Dia sadar kalau ular besar yang akan dihadapinya juga memiliki tingkat kesaktian yang tinggi. Ular memiliki sifat yang licik, maka untuk menghadapinya , dibutuhkan kehati-hatian dan ketenangan yang luar biasa.
Dari arah pohon Bintanggur terdengar suara desisan panjang yang menyeramkan. Tampaknya si ular itu telah menyadari kehadiran Pakuela dan mulai beraksi. Pertarungan sengitpun terjadi. Pakuela tak mau kalah dengan sang ular, dia mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Pertarungan beranjak seru. Dalam sekejap mata, ular tiba-tiba membuat gerakan cepat. Ia meliuk turun dari pohon, mendekati Pakuela. Gerakan patuk yang melesat secepat angin ke arah kepala Pakuela meleset. Tidak mau membuang-buang kesempatan, Pakuela langsung melompat berputar di udara lalu turun dengan menyabetkan ekornya secepat sambaran halilintar ke arah leher ular. Serangan tepat sasaran. Darah segar terpancar.
Akhirnya si ular pengganggu penduduk itu ambruk ke pasir. Tamat sudah riwayatnya. Dia meregang nyawa secara mengenaskan dengan tengkorak kepala yang hancur berantakan. Di bagian leher, luka yang dalam menganga lebar.
Empat pendekar dari gunung Ariwakang yang menyaksikan jalannya pertarungan dalam sikap semedi, bersorak girang. Mendengar teriakan Titariuw, Tuatanassy, Simauw, dan Parera ini membuat Kepala Kampung yang berada tak jauh dari situ melompat kaget. Seakan tak percaya apa yang didengarnya. Astaga, benar. Di kejauhan tidak ada lagi tandatanda pertarungan. Kepala Kampung segera saja berlarian ke segala arah memberitahukan kemenangan Buaya Tembaga.
Kepala Kampung dan penduduk kampung mengucapkan terima kash kepada Pakuela karena telah membunuh ular besar. Kini masyarakat kampung dapat hidup dengan tenang dan mereka tidak kegelapan lagi di malam hari. Sebelum kembali ke Teluk Bagualla, Buaya Tembaga dan empat pendekar menyantap hidangan yang telah disiapkan bapak dan ibu raja. Karena hari telah larut, mereka memutuskan untuk kembali ke Teluk Baguala keesokan harinya.
Keesokan harinya, Pakuela dan keempat pedekar kembali ke Teluk Baguala. Seluruh masyarakat mengantar mereka. Ekspresi penuh terima kasih dan kagum tergambar di setiap wajah mereka. Pakuela mendapat hadiah dari penduduk berupa beberapa jenis ikan yang diisi di dalam sebuah tagalaya . Setelah kejadian pertarungan yang fenomenal itu, Pakuela kembali ke Istana Baguala. Menyepi di sana dan menjalani tapa yang panjang. Sudah jarang dia memperlihatkan dirinya lagi kepada penduduk yang tinggal di wilayah teluk Baguala. Batu besar yang dikenal sebagai Istana Baguala pun menghilang secara misterius, entah ke mana. Tak ada yang tahu.
Jika Pakuela muncul sesekali di teluk Baguala, hanyalah sekedar ingin memberitahukan kepada penduduk kampung untuk segera bersiap memanen ikan berbagai jenis. Ikan-ikan itu sebenarnya adalah hadiah dari penduduk Pulau Buru yang diserahkan kepada Pakuela tempo hari. Ikan-ikan yang di antaranya jenis Parang, Make, Papere, dan Salmaneti pemberian penduduk itu tidak disantapnya namun dipelihara dan dilepasnya untuk berkembang biak di teluk Baguala. Tak heran jika ikan-ikan jenis itu hingga kini sangat banyak populasinya di teluk ini.
Banyak penduduk yang tinggal di sekitar teluk percaya, bila Buaya Tembaga muncul, itu pertanda keberuntungan yang dianugerahkan alam akan segera datang, berupa ikan dari berbagai jenis. Mereka tak lupa juga meyakini bahwa keangkaramurkaan seperti yang ditunjukkan ular jahat akan dapat dilawan dengan kebaikan. Pakuela telah mencontohkannya.
Belum ada tanggapan untuk "Ringkasan Cerita Buaya Tembaga, Pakuela, Sang Penguasa Baguala "
Post a Comment