UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu : Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be
Berikut maksud empat pilar tersebut.
Learning to Know
Seperti telah dikemukakan oleh Philip Phenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan “ways of knowing” atau “mode of inquiry” telah memungkinkan peserta didik untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan hasil penelitian orang lain. Karena itu, hakekat “Learning to Know” adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Dalam bahasan Israel Scheffler pilar ini pada hakekatnya terkait dengan relevansi epistemologi, yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik (pelajar/mahasiswa) terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Dalam kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut :
“Epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic union. It requires not contact but criticism, not immersion in the phenomenal and conceptual given, but the flexibility of mind capable of transcending, reordering, and expanding the given. ‘An education that fosters criticism and conceptual flexibility transcends its environment and by erecting a mythical substitue for this world but rather striving for a systematic and penetrating comprehension of it.”
Selanjutnya dia menguraikan pengkajian dalam kalimat berikut :
“Theoretical inquiry, independently pursued has the most powerful potential for the analysis and transformation of practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the greatest educational interest. Such interest is not, contrary to recent emphases, exhausted in a concern for inquiry within the structure of several disciplines. Students should be encouraged to employ the information and technique of disciplines in analysis, criticism, and alteration of their practical outlook. Habits of practical diagnosis, critique and execution upon responsible inquiry need the supplement theoretical attitude and disciplinary proficiencies in the traing of the young.”
Pandangan Scheffler tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan “learning to know” pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang pentingnya pilar “learning to know” untuk berangkat dari disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin ilmu adalah bentuk yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan :
“In the revolutionary perspective, thought is an adaptive instrument for overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry, the most highly form of thought is the most explicity problem directed.”
Selanjutnya dia menyatakan :
“Interpreting science as the most refined and effective development to such adaptive thinking, is urges the outensible problem-solving pattern of scientific research as the chief paradigm of intellectual activity, to be favored in all phases of education and culture.”
Dari uraian diatas dapatlah ditarik pemahaman bahwa penerapan pilar “learning to know” pada tingkat pendidikan adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Dengan model pendekatan ini dapatlah dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learnig to do
Bagaimana dengan pilar kedua “learning to do”. Kalau pilar pertama,”learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalam penguasaan IPTEk antara negara di dunia dan tidak lagi dibagi antara negara utara-selatan, pilar kedua, “learning to do”, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan - pekerjaan seperti “controlling, monitoring, maintaning, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Dengan kata lain, menyiapkan anggota masyarakat memasuki dunia kerja yang dalam “technology knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi penting.
Dalam kaitan dengan “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakekat pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti pula bahwa untuk melahirkan generasi baru yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan. Dalam kaitan ini, ada baiknya penulis kutipkan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis dalam kalimat berikut :
“Thought according to widely prevalent doctrine is problem oriented. It originates in doubt, conflict, and difficulty. The functions is to overcome obstacles to the smooth flow of human activities. When action is coherent and well adapted to its circumstances, human energy is released into overt channel set by habit and custom. The blocking of conduct either through internal conflict on environment hidrance, turns its energy inward, transforming its into thought.”
Dalam kaitan ini, mengandung makna atau berimplikasi tentang perlunya pendidikan profesional pada dunia pendidikan secara konsekuentif, bermuara pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan peserta didik berkesempatan mengintegrasikan pemahanan konsep, penguasaan ketrampilan teknis dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi dan improvisasi.
Learning to live together
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antara manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Yang terjadi akhir-akhir ini bahkan sebaliknya yaitu terjadinya konflik antar manusia yang didasarkan atas prasangka, baik antar ras, antar suku, antar agama dan antar si kaya dan si miskin, dan antar negara. Padahal sejak berakhirnya Perang Dunia ke II berbagai deklarasi untuk menjadi dasar penyelesaian konflik seperti Deklarasi HAM, piagam PBB. Bangsa kita sendiri memiliki landasan pandangan hidup Pancasila yang hakekatnya adalah untuk membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antar warga bangsa melainkan dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Komisi Internasional untuk pendidikan abad ke-21 mengakui sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian dan bebas dari prasangka. :
“It is difficult task, since people very naturally tend overvalue their own qualities and those of their group and to harbour prejudies against others. Furthermore, the general climate of competition that is at present characteristic of economic activity, within and above all between nations, tends to give priority to the competitive spirit and individual success. Such competition now amounts to ruthless economic warfare and to a tension between rich and poor that is dividing nations and the world, and exacerbating historic rivalries”.
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh komisi diatas menuntut pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan.
Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan dengan pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan Israel Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan “camping” yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model yang perlu ditempuh. Model sekolah berasrama dan kampus yang merupakan kawasan tersendiri merupakan pendekatan yang ditempuh Inggris dan Amerika Serikat dalam membangun bangsa yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Learning to be
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo sliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”. Inilah kurang lebih makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik (pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery” pada pilar “learning to know”, tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada “learning to do”, dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.
Dan adalah keyakinan keilmuan dan professional penulis bahwa hanya dengan penerapan keempat pilar tersebut upaya menghadapi tantangan jaman melalui pengembangan kemampuan dan pembentuk watak akan dapat secara efektif berhasil. Dan ini akan benar-benar terwujud bila ditunjang dengan sistem evaluasi yang relevan, komprehensif, terus menerus dan obyektif dapat dilaksanakan serta didukung dengan dipenuhi standard minimal untuk semua elemen esensial dari pendidikan seperti yang digariskan dalam PP No. 19 Tahun 2005.
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Guru Besar (EM) Ilmu Pendidikan UNJ
Ketua Dewan Pembina ISPI
Ketua DD CINAPS
Anggota Forum Konstitusi
Belum ada tanggapan untuk "Memahami Makna 4 Pilar belajar yang diperkenalkan oleh UNESCO"
Post a Comment