Menangani siswa yang bermasalah tidak seperti sedang menonton sebuah pertandingan sepakbola. Berlomba-lomba memberi saran kepada pemain yang tampil buruk atau bahkan mengeluarkan umpatan yang berakibat pada merosotnya mental pemain. Pemandangan ini seringkali dijumpai ketika menonton pertandingan sepakbola di stadion, kadang saya berpikir seandainya mereka menggantikan pemain tersebut, apakah bisa bermain lebih baik atau minimal seperti yang mereka inginkan?
Begitu pula halnya dengan siswa yang bermasalah. Untuk menangani siswa yang bermasalah percayakanlah kepada guru bimbingan konseling atau wali kelasnya. Guru harus bisa menahan diri, jika ada data dan informasi terkait siswa tersebut sampaikan kepada guru yang menanganinya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman siswa terhadap guru, misalnya siswa merasa terhakimi atau menjadi tertuduh yang pada akhirnya timbul rasa takut pada guru atau merasa benci pada guru.
Ketahuilah bahwa masing-masing individu tak terkecuali siswa memiliki jiwa memberontak apabila mendapatkan tekanan yang melebihi batas kemampuannya. Harapan kita, setelah siswa bermasalah tersebut melalui proses pembimbingan dan pembinaan akan terjadi perubahan pada sikap dan perilakunya menjadi lebih baik, sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Akan tetapi, dalam prakteknya kadang tidak sesuai prosedur penanganan siswa bermasalah. Beberapa guru justru menekan siswa dengan kata-kata yang bernada negatif secara beramai-ramai yang membuat siswa bingung harus mendengar guru yang mana yang berbicara, membuka rekaman perilaku siswa secara beramai-ramai, memarahi bahkan sampai mengancam segala. Disinilah timbul pemberontakan siswa, mereka berusaha melawan sesuai kemampuannya, memandang guru sebagai musuh yang harus ditaklukan agar bisa menguasai situasi yang telah menempatkan mereka pada posisi yang sulit, akibatnya siswa akan melakukan dua hal yang jarang dipahami oleh guru.
Pertama, siswa akan memilih diam seribu bahasa agar proses yang dilakukan oleh guru cepat selesai. Dengan cepat selesainya proses yang dilakukan oleh guru semakin mempersingkat waktunya berada dibawah tekanan yang dilakukan oleh guru. Kedua, siswa melakukan pembelaan diri jauh melebihi batas norma seorang siswa terhadap guru, mereka akan mengarang cerita bohong dengan harapan bisa keluar dari masalah yang dihadapinya. Yang paling berbahaya adalah mereka akan menantang guru secara fisik, tidak peduli dengan dampaknya, apakah menguntungkan atau merugikan proses pendidikannya, yang diharapkannya adalah keluar dari tekanan para guru yang menghakiminya pada saat itu.
Kedua hal di atas tidak bisa menyelesaikan masalah siswa, bahkan semakin membangkitkan jiwa memberontaknya. Padahal, jika guru berusaha untuk sabar sedikit, menyerahkan sepenuhnya pada guru yang menangani bimbingan konseling atau wali kelasnya, mungkin situasinya akan berbeda. Mereka akan merasa dihargai walaupun harus mendapatkan sanksi atau nasehat yang bernada keras dari guru pembimbingnya atau walikelasnya dalam mendisiplinkan siswa tersebut.
Tanganilah siswa secara manusiawi, tunjukkan bahwa guru adalah orang tua yang menjadi tempat bernaung dari segala macam persoalan. Tegakkan keadilan namun tetap memperhatikan prinsip pendidikan karena guru bukanlah hakim yang memiliki kapasitas untuk menentukan salah dan benar tetapi guru merupakan cermin perilaku teladan yang menjadi ukuran siswa memperbaiki diri. Disisi lain, guru juga harus menjadi yang dipercaya dan amanah, agar siswa yang menuntut keadilan akibat perilaku negatif dari siswa lain merasa terpenuhi tuntutannya.
Memang tidak mudah menjadi guru, disatu sisi materi pelajaran harus tuntas sesuai kurikulum yang berlaku namun disisi lain guru pun dituntut untuk menjadi pembentuk karakter dan moral siswa. Keduanya mesti berjalan beriringan bukan beririsan, peran ganda ini membuat guru bekerja ekstra keras tetapi itulah seni menjadi guru. Guru harus bisa bersenyawa dengan siswa agar mudah memahami dunianya, baik itu kemampuan akademik maupun karakter siswa termasuk mereka yang bermasalah.
Tuntaskan setiap masalah siswa dengan adil dan tetap berpedoman pada nilai-nilai pendidikan, ciptakan kondisi bahwa siswa merasa dihargai walaupun ada dorongan rasa jengkel terhadap perilaku siswa tersebut. Bilamana ini dilakukan oleh guru maka pemandangan seperti penonton sepakbola yang bebas berbicara dan intimidasi pemain karena melakukan kesalahan akibat tidak tampil maksimal tidak akan terjadi lagi di sekolah, jangan sampai siswa memilih diam atau memberontak secara fisik terhadap guru karena akan menyulitkan proses pembimbingan dan pembinaan.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Janganlah menjadi guru seperti penonton sepakbola di stadion"
Post a Comment