Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Pemberlakuan Paradigma Rasional dan Fakta Sosial

Indonesia merupakan negara dengan multi etnis, agama, kepercayaan dan budaya, maka dalam bidang hukum juga sangat plural. Pluralisme hukum, demikian jika boleh dikatakan, merupakan suatu penyimpangan dimana hukum negara mengakui beberapa hukum kebiasaan. Hooker lebih lanjut menyatakan bahwa secara umum menunjukkan tiga hal yang penting :

1) sistem hukum nasional adalah superior secara politik, untuk memperluas keberadaannya  yang bisa menghapus sistem asli (pribumi).

2) dimana ada suatu pertentangan terhadap kewajiban  (hukum) peraturan-peraturan sistem nasional akan   dan mengingat sistem asli (indigenous) akan dibuat berdasar pendirian  dan dalam bentuk yang diperlukan sistem nasional.

3) dalam deskripsi dan analisis yang ada sistem asli (indigenous) menggunakan klasifikasi yang akan ada itu  terhadap sistem nasional. 

Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism).

Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religious law), hukum kebiasaan (customary law), dan juga semua bentuk mekanismemekanisme pengaturan lokal (self-regulation) dalam masyarakat.

Ideologi sentralisme hukum ini diwujudkan dengan menggunakan instrumen perundang-undangan yang akan digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Ini merupakan ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini juga disebut social enggineering.

Indonesia adalah negara yang bercorak majemuk atau pluralis, termasuk sistem hukum yang berlaku dimasyarakat. Hal ini karena selain hukum negara (state law), secara de facto di masyarakat masih berlaku hukum adat, hukum agama (religious law) dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self-regulation) dalam kehidupan masyarakat. 

Menurut I Nyoman Nurjaya, pembangunan hukum di Indonesia cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam teritori (rule-centered paradigm), implikasinya, hukum negara cenderung menggusur, mengabaikan, dan mendominasi keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, karena secara sadar hukum difungsikan
sebagai government social control.

Hukum adalah sarana untuk melayani kekuasaan. Hukum dalam hal ini adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa dan memenangkan ketaatan. 

Namun sejak Orde Reformasi berjalan,  tatanan hukum nasional ini harus membuka peluang ketika tuntutan masyarakat menghendaki berlakunya hukum yang bersifat  partikularistik yang berlaku bagi masyarakat-masyarakat  tertentu. Ini merupakan konsekuensi adanya pengakuan demokrasi dalam upaya menampung berbagai pluralitas yang ada di nusantara ini.

Disamping hukum tertulis baik yang bersifat nasional maupun partikularistik, dimasyarakat sendiri sudah ada hukum-hukum yang tidak tertulis yang juga dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga keduanya berlaku beriringan. Dengan memandang keadaan seperti itu, maka nampaknya sistem pemerintahan demokrasi menjadi pilihan yang paling ideal.

Sistem demokrasi ini akan  menghargai kesatuan di dalam keanekaragaman. Meskipun demikian, di dalam praktek tampaknya masyarakat demokratis itu berjalan paling baik dalam kondisi-kondisi yang homogin.

Bagi kebanyakan masyarakat adanya pluralitas kultural  yang kuat tampaknya menghambat jalannya lembaga-lembaga demokratis, terutama jika pecahan-pecahan nilai (primordial dan sakral) saling menguatkan.

Daftar pustaka

Nurjaya, I Nyoman, Memahami Posisi dan Kapasitas Hukum Rakyat Dalam Politik Pembangunan Hukum di Indonesia, http://www.sociolegal.org

John Griffiths, What is Legal Pluralism?, Journal of legal Pluralism, 1986.

Satjipto Rahadjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa Bandung, 1986.

Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, terjemahan Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,, Jakarta,  HuMa, 2003.

Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial,  Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.

Artikel keren lainnya:

Hukum Sebagai Fakta Sosial

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan fakta sosial, Durkheim memberikan  penjelasan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial  adalah seluruh cara bertindak, yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasimanisfestasi individual.

Durkheim menyebut istilah fakta sosial dengan istilah sui generis yang menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individual. Ia memberikan contoh termasuk dalam fakta sosial adalah aturan legal, beban moral, kesepakatan sosial dan bahasa.

Karakteristik dari fakta sosial ini ialah bersifat eksternal dimana individu, dibimbing, diarahkan dan dipaksa untuk mengakui dan menerapkan norma-norma masyarakat. Menurut Durkheim individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.

Dalam pandangan Berger jika mendekati masyarakat dari aspek kontrolnya, bahwa individu dan masyarakat sebagai dua entitas yang saling bertikai satu sama lain. Masyarakat dipahami sebagai suatu realitas eksternal yang menekan dan memaksa (koersi) terhadap individu.

Kontrol sosial berfungsi untuk mengembalikan anggota-anggota masyarakat yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa ada tanpa kontrol sosial. Hukum sebagai karya masyarakat, yang barangkali paling tua umurnya, adalah hukum tidak tertulis yang merupakan norma-norma yang berkembang seusia masyarakatnya.

Menurut von Savigny hukum tidak hanya tumbuh dari “norma-norma prahukum” saja, melainkan mengikuti dari etika sosial. Akibatnya hukum sebagaimana dia menampilkan diri dalam pranata-pranata yang dipraktekkan oleh masyarakat, merupakan refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. Hukum karena itu tumbuh terus bersama rakyat berkembang bersamanya, kemudian akhirnya sirna bersama rakyat, ketika rakyat itu kehilangan identitasnya.

Hukum tidak tertulis dipandang dari  fenomenologi eksistensial, merupakan  salah satu kebudayaan dan itu hanya mempunyai ruang lingkup “sosial” dan tidak mempunyai ruang  lingkup “individual”. Kebudayaan dengan demikian dapat dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sedangkan masyarakat tidak dibayangkan tanpa keseluruhan karyanya itu, yang sekaligus membuatnya spesifik dan dengan demikian membedakannya dengan masyarakat yang lain.

Oleh karena memusatkan pada hukum sebagai suatu unsur kebudayaan, maka hukum akan terkondisikan sebagai berikut :

a) Jika kebudayaan aneka masyarakat dapat berbeda satu dari yang lain, realisasi dalam bentuk hukum juga akan berbeda-beda.

(b) Sebagai   suatu sistem, hukum itu hanya diperoleh  dan diteruskan melalui proses belajar.

(c) Sebagai suatu tatanan yang regulatif, hukum itu mencerminkan dimensi manusia yang biologis, psikologis, ekologis dan histories. Karena itu, hukum mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. 

(d) Sebagai suatu sistem, hukum itu mempunyai struktur, yaitu bangunan konseptual yang terdiri dari bagian-bagian yang integratif sifatnya. 

(e) Sejajar dengan aspek-aspek kebudayaan, hukum itu berkaitan dengan aspek kepercayaan dan tata nilai, sosial, ekonomi, teknologi, estetika dan bahasa. 

(f) Hukum bersifat dinamis dan karenanya selalu berkembang menjadi lebih kompleks. Hal itu terutama tampak dari perangkat hukum material maupun formal yang semakin lama menjadi semakin kompleks dan terspesialisasi, sehingga juga menjadi semakin sukar untuk dipahami oleh orang awam.

(g) Hukum itu juga mencerminkan nilai-nilai yang relatif. Dengan melihat hukum tidak tertulis sebagai produk dari masyarakat lokal dengan keberlakuan lokal sebagai salah satu karakteristiknya, maka Indoneia merupakan negara yang plural dengan karya-karya masyarakat lokal ini.

Pluralitas masyarakat ini bukan berarti tidak bermasalah. Karena “mempunyai keragaman sosio-kultural yang sekaligus merefleksikan adanya fakta terpilah-pilahnya kesetiaan dan kebutuhan hukum dikalangan warga masyarakat”.

Dengan jumlah 400 etnis dan hidup dengan 67.000 adat yang tersebar di 3000 pulau  merupakan suatu tugas yang luar biasa sulit mempertahankan dan menyatukannya. Anggota perkampungan masih mempertimbangkan dirinya yang pertama sebagai warga lokal dan baru yang kedua sebagai warga republik. Komunitas perkampungan masih mempertahankan adat lokalnya dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri.

Dengan memandang keadaan seperti itu, maka nampaknya sistem pemerintahan demokrasi menjadi pilihan yang paling ideal. Sistem demokrasi ini akan  menghargai kesatuan di dalam keanekaragaman. Meskipun demikian, di dalam praktek tampaknya masyarakat demokratis itu berjalan paling baik dalam kondisi-kondisi yang homogin.

Bagi kebanyakan masyarakat adanya pluralitas kultural  yang kuat tampaknya menghambat jalannya lembaga-lembaga demokratis, terutama jika pecahan-pecahan nilai (primordial dan sakral) saling menguatkan.

Kendatipun secara geografis masyarakatnya terpisah-pisah oleh laut dan bahkan Negara lain (Timur Leste). Namun ada yang menyatukannya yaitu tatanan hukum nasional  yang berlaku untuk seluruh tanah air bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tatanan Hukum Nasional yang dimaksud adalah tatanan hukum tertulis (State Law) yang jika ditelusuri dari sisi sejarah asas pemerintahan berdasarkan undang-undang mulai menancapkan kukunya pada abad 19  berjalan seiring dengan keberadaan Negara hukum klasik atau Negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistic-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang. 

Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelegaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan Negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral.

Daftar pustaka

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Dari Teori Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Posmodern, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008.

Doyle Paul Jonhnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan Robert M.Z. Lawang, Jakarta, Gramedia, 1986.

Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, Jakarta, Inti Sarana Aksara.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.

Harsojo, Pengantar Antropologi dalam  Budiono Kusumohamidjojo,  Ketertiban Yang Adil Problematk Filsafat Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999.

Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan Kebijakan Perkem-bangan Hukum Nasional, Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya Dalam Gerakan Pembaharuan Hukum, pada tanggal 21 Nopember 2006 di Universitas Al Azhar, Jakarta.

Selo Soemardjan and Kennon Breazeale, Cultural Change In Rural Indonesia Impact of Village Development, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1993.

Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial,  Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.

Sjahran Basah, Perlindunngan Hukum  terhada Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung, Alumni,  1992.

Artikel keren lainnya:

Menanamkan Jiwa Enterpreneur Pada Anak

Usia anak-anak adalah masa sangat penting dalam pembentukan pola bagi kehidupannya dimasa depan. Hal inilah yang harus di perhatikan oleh para orang tua dalam membimbing anaknya untuk berprestasi.

Pada masa inilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk membentuk pola pikir mereka, dengan cara memberikan perhatian yang cukup kepada mereka dengan menanamkan ilmu-ilmu agama dan mengajarkan kepada mereka serta selalu memotivasi mereka agar selalu giat belajar agar menjadi orang yang sukses serta memiliki di kemudian hari nanti.

Dapat dikatakan bahwa sikap dan kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, latihan-latihan yang dilali pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan terhadap hal-hal  religius, santun,  ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, dan empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitar, serta memotivasi dan mendidik mereka agar berwirausaha sejak kecil maka, ketika dewasa nanti mereka akan menyadari betapa pentiingnya nilai agama,  kepribadan, serta akan membuat mereka tidak bergantung pada orang tua dalam hal financial.

Disini peran orang tua dan pendidik sangat penting, disamping mebekali anak dalam bidang agama serta ilmu pengatahuan umum, orang tua dan pendidik juga harus membekali anak dalam bidang kewirausahaan (entrepreneurship).

Pendidikan ini sangat pentingnya bagi kehidupan mereka kelak serta akan mengasah pengetahuan mereka bagaimana cara membidik peluang, menciptaan peluang serta bagaimana membangun serta menjalankan sebuah usaha.

Disamping itu mereka juga hal-hal yang harus diperhatikan  agar jiwa entrepreneur tertanam pada diri anak sejak diri yakni :

1.Mengasah Jiwa Kepimpinan Anak.

Pada dasarnya setiap anak dapat mengasah kemampan dasar kepemimpinan sendiri dengan halhal yang sederhana. Bukan dengan teori-teori yang dapat membebani anak. Menanamkan kemampuan dasar kepemimpinan pada anak dapat dilakukan dengan cara melatih self leadership yakni melatih anak untuk dapat memimpin dirinya sendiri.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana yakni Memberikan tanggung jawab pada anak untuk mengatur kamarnya sendiri, mengatur waktunya dalam belajar, bermain serta berinteraksi sosial. Anak juga harus di didik bagaimana cara mengambil suatu keputusan dan berpikir kreatif.

Jika Tanggung jawab, kreativitas dan mampu mengambil keputusan berhasil kita tanamkan sejak dini pada anak maka jiwa wirausaha akan ikut tertanam pada diri anak dan sifat tersebut merupakan modal bagi keberhasilan hidup anak saat ia dewasa

2.Mengajarkan Anak Untuk Selalu Berfikir Kreatif.

Ajak anak untuk secara kreatif memikirkan cara-cara yang tidak biasa dalam berbagai hal. Karena kemampuan berpikir kreatif dapat membantu anak dalam melakukan pemecahan masalah. Asah kemampuan anak untuk bersosialisasi, misalnya dengan mengikutsertakan anak dalam suatu organisasi.

Umumnya jiwa kepemimpinan anak baru dapat dilihat jika ia berada dalam sebuah kelompok, misalnya anak dapat belajar mengoordinir atau memengaruhi teman-temannya dalam melakukan sesuatu.

Cara ini juga mengasah kemampuannya berkomunikasi yang sangat berarti ketika anak menjadi seorang entrepreneur atau pemimpin dan menganalisa beberapa peluang usaha, sebelum memutuskan usaha apa yang cocok baginya sebelum melakukan suatu usaha.

3.Mendidik anak untuk selalu memikirkan sebuah resiko.

Mendidik anak untuk memikirkan sebuah resiko sangat penting bagi kehidupan sang anak. Sebab dalam mengarungi hidup semua orang pasti selalu dihadapkan pada keadaan dimana seseorang harus memilih diantara dua buah pilihan, dan diantara kedua pilihan tersebut memiki resko masing-masing.

Banyak orang yang masih takut untuk mengambil resiko, jika anak kita latih dari kecil untuk selalu memikirkan resiko atas tindakannya sendiri dengan pemikiran yang matang, maka ketika saat mereka dewasa nanti mereka pandai dalam mengelola ketakutannya dan menumbuhkan keberanian untuk meninggalkan segala kenyamanan yang ada, serta memilih menghadapi sebuah resiko.

Namun keberanian untuk menghadapi resiko tetap disertai dengan perhitungan yang matang. Sehingga dia bukan hanya berani nekat saja, tetapi juga berani bertanggungjawab atas keputusan yang telah diperhitungkannya.

Dan tidak kalah penting adalah support dari orang tua si anak. Support orang tua kepada anaknya bisa berupa memberikan modal kepada si anak untuk menciptakan atau mengcreat benda sehingga bisa dijual. Selain modal support orang tua yang lain adalah dalam bentuk motivasi bahwa si anak. Bentuk motivasi itu antara lain bisa berwujud ucapan selamat ketika penjualan si anak mengalami keuntungan atau dorongan semangat untuk pantang menyerah atau membantu menganalisa kenapa rugi jika si anak mengalami kerugian.

Support yang seperti ini sangat membantu bagi si anak karena dengan support anak akan semakin semangat manakala ia mendapatkan keuntungan dari usahanya tadi dan tidak patah semangat jika mengalami kerugian.

Selain itu lingkungan adalah factor utama yang mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan bisa lingkungan keluarga maupun sekolah. Banyak anak yang menjadi entrepreneur karena berasal dari keluargaentrepreneur.

Hal ini dikarenakan si anak sudah terbiasa dengan kesehariannya melihat bagaimana kegiatan orangtuanya dalam menjalankan kegiatan usahanya. Mindset anak menjadi tertanam dengan sangat kuat ketika dewasa kelak. Meskipun tidak jarang juga anak yang berasal dari latar belakang keluarga seorang entrepreneur namun ketika dewasa ia tidak menjadi entrepreneur.

Daftar pustaka

Alimuddin Yasin,  Menanamkan jiwa enterpreneur pada anak

http://motivasiluarbiasadahsyat.webnode.com/products/pendidikan-wirausaha-sebagai-alternatifpembekalan-anak/
http://sanerrol.blogspot.com/2010/01/mengasah-jiwa-kepemimpinan-si-kecil.html

http://jajanenak.com/news-and-article/5-bisnis-dan-marketing/28-ciri-seorang-entrepreneur.html

Artikel keren lainnya:

Perawatan Peralatan Radiasi

Berbagai faktor yang mempengaruhi pelayanan radioterapi dan radiodiagnostik adalah jumlah pasien yang melebihi kapasitas, sarana dan prasarana, pemeliharaan, penyediaan suku cadang dan ketrampilan teknisi.

1. Jumlah Pasien

Di beberapa rumah sakit misalnya di RS. Dr. Ciptomangunkusumo dan RS. Sardjito terdapat kelebihan jumlah pasien dibandingkan dengan jumlah pesawat radiasi. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesempatan untuk melakukan pemeliharaan dan mempercepat keausan elemen mesin.

2. Sarana dan Prasarana

Pada penggunaan pesawat yang canggih diperlukan persyaratan prasarana yang baik, misalnya tersedianya aliran air yang cukup dan aliran listrik yang cukup dan stabil. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kerusakan yang sering terjadi.

3. Perawatan.

Perawatan yang  berkesinambungan didukung oleh penyediaan suku cadang merupakan syarat mutlak untuk kelancaran operasi pesawat radiasi. Namun hal ini sering mengalami  hambatan yang disebabkan oleh alokasi dana yang terbatas.

4. Pengadaan Suku Cadang (Spare Parts)

Penggantian suku cadang untuk pesawat sinar-X lebih sering pada tabung terutama untuk buatan China 5-6 tahun. Pada pesawat Linac yang sering perlu diganti pada sumber radiasi dan bagian mekanik yaitu perputaran pesawat dan gerakan meja.

5. Jumlah dan Keahlian Teknisi.

Untuk mengadakan pemeliharaan yang baik maka sangat diperlukan tenaga teknisi yang terampil dan dalam jumlah yang memadai. Namun hal ini masih sukar dicapai, karena khususnya pada pesawatpesawat yang canggih diperlukan keahlian yang khusus, sehingga memerlukan tambahan pendidikan dan pengalaman yang cukup.

Daftar pustaka

MUKHLIS AKHADI, 2001, ”Napak Tilas 106 Tahun Perjalanan Sinar-X”, PKRBN- BATAN, Jakarta

Artikel keren lainnya:

Sejarah sinar-X dan kegunaannya untuk kesehatan

Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen seorang berkebangsaan Jerman pada tahun 1895. Penemuanya diilhami  dari hasil percobaan - percobaan sebelumnya antara lain dari J.J Thomson mengenai tabung katoda dan Heinrich Hertz tentang foto listrik.

Kedua percobaan tersebut mengamati gerak elektron yang keluar dari katoda menuju ke anoda yang berada dalam tabung kaca yang hampa udara.

Pembangkit sinar-X berupa tabung hampa udara yang di dalamnya terdapat filamen yang juga sebagai katoda dan terdapat komponen anoda. Jika filamen dipanaskan maka akan keluar elektron dan apabila antara katoda dan anoda diberi beda potensial yang tinggi, elektron akan dipercepat menuju ke anoda.

Dengan percepatan elektron tersebut maka akan terjadi tumbukan tak kenyal sempurna antara elektron dengan anoda, akibatnya terjadi pancaran radiasi sinar-X.

Pemanfaatan  sinar-X di bidang kedokteran nuklir merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.  Aplikasi ini telah cukup beragam mulai dari radiasi untuk diagnostic, pemeriksaan sinar-X gigi dan penggunaan radiasi sinar-X untuk terapi.

Radioterapi adalah suatu pengobatan yang menggunakan sinar pengion yang banyak dipakai untuk menangani penyakit kanker. Alat diagnosis yang banyak digunakan di daerah adalah pesawat sinar-X (photo Rontgen) yang berfungsi untuk  photo thorax,  tulang tangan,kaki dan organ tubuh yang lainnya.

Alat terapi  banyak terdapat di rumah sakit-rumah sakit perkotaan karena membutuhkan daya listrik yang cukup besar. Di negara maju, fasilitas kesehatan yang menggunakan radiasi sinar-X telah sangat umum dan sering digunakan.

Radiasi di bidang kedokteran membawa manfaat yang cukup nyata bagi yang menggunakannya. Dengan radiasi suatu penyakit atau kelainan organ tubuh dapat lebih awal dan lebih teliti dideteksi, sementara terapi dengan radiasi dapat lebih memperpanjang usia penderita kanker atau tumor.

Artikel keren lainnya:

Dimensi Kompetensi

Oliver (1997) memberikan perhatian pada sumberdaya strategis dan berargumen bahwa sumberdaya yang menghasilkan kompetensi haruslah langka, unik, khusus, tak berwujud, sulit ditiru diganti dan sulit ditiru.

Meyer and Utterback (1993) menekankan peran penting kompetensi teknologi, penelitian dan pengembangan, kompetensi produksi dan manufaktur, serta kompetensi pemasaran. 

Selanjutnya Hamel and Heene (1994) membagi kompetensi menjadi kompetensi aksespasar, kompetensi yang berkaitan dengan integrasi, dan kompetensi dikaitkan dengan fungsionalitas.

Hall (1994) percaya bahwa kemampuan fungsional, budaya, posisi, dan pengaturan sebagai pembentuk dan penentu keunggulan perusahaan secara keseluruhan.

Barney (1991) menyajikan struktur yang lebih konkret dan komprehensif untuk mengidentifikasi pentingnya  kompetensi untuk  memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Barney (1991) mengutarakan empat indikator sehingga kompetensi yang dimiliki perusahaan dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan, yakni: bernilai (valuable), merupakan kompetensi langka diantara perusahaan-perusahaan yang ada dan pesaing potensial (rare), tidak mudah ditiru (inimitability), dan tidak mudah digantikan (nonsubstitutability). 

1. Bernilai (valuable)

Kompetensi bernilai (valuable competencies) adalah kompetensi yang menciptakan nilai bagi suatu perusahaan dengan mengeksploitasi peluang-peluang atau menetralisir ancamanancaman dalam lingkungan eksternal perusahaan. Kompetensi dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan hanya ketika kompetensi tersebut bernilai (valuable). Kompetensi dikatakan bernilai ketika kompetensi tersebut menyebabkan perusahaan mampu menyusun dan mengiplementasikan strategistrategi yang dapat meningkatkan nilai bagi pelanggan khususnya

2. Langka (rareness)

Kompetensi langka adalah kompetensi yang dimiliki oleh sedikit, jika ada, pesaing saat ini atau potensial. Kompetensi perusahaan yang bernilai namun dimiliki oleh sebagian besar pesaing yang ada atau pesaing potensial tidak dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Sebuah perusahaan dikatakan menikmati keunggulan bersaing ketika perusahaan tersebut dapat mengimplementasikan strategi penciptaan nilai yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya. Dengan kata lain, keunggulan bersaing dihasilkan hanya  ketika perusahaan mengembangkan dan mengeksploitasi kompetensi yang berbeda dari pesaingnya. Jika kompetensi yang bernilai tadi dimiliki oleh sebagian besar perusahaan, dan tiap-tiap perusahaan memiliki kemampuan untuk menggunakannya dengan cara dan teknik yang sama, dan selanjutnya mengimplementasikan strategi yang hampir sama maka dapat dikatakan tidak ada satupun perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing.

3. Sulit Ditiru (Inimitability)

Kompetensi yang bernilai dan langka tersebut hanya dapat menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan jika perusahaan lain yang tidak memilikinya, tidak dapat memperoleh kompetensi tersebut.

Dalam istilah yang dibangun oleh Lippman and Rumelt (1982) dan Barney (1986a), kompetensi ini disebut sangat sulit ditiru (imperfectly  imitable). Kompetensi dapat dikatakan sulit ditiru karena satu atau kombinasi dari tiga alasan berikut: 

a.  Kemampuan perusahaan untuk memperoleh kompetensi tergantung pada kondisi historis yang unik. Ketika perusahaan berevolusi, mereka mengambil keahlian, kemampuan, dan sumberdaya yang unik bagi mereka, mencerminkan jalan setapak yang dilalui dalam sejarah (Barney, 1995). Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa kadang-kadang perusahaan  mampu mengembangkan kompetensi karena berada pada tempat yang tepat dan saat yang tepat (Barney, 1999).

b.  Hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan dengan keunggulan bersaing yang berkesinambungan bersifat ambigu (causally ambiguous). Para pesaing tidak mampu memahami dengan jelas bagaimana suatu perusahaan menggunakan kompetensi intinya sebagai dasar dari keunggulan bersaingnya. Akibatnya para pesaing tidak pasti tentang kompetensi-kompetensu yang harus mereka kembangkan untuk meniru manfaat dari strategi penciptaan nilai perusahaan yang disainginya itu.

c. kompetensi yang menghasilkan keunggulan perusahaan tersebut bersifat kompleksitas sosial (socially complex). Kompleksitas sosial berarti bahwa setidaknya beberapa, dan sering kali banyak, kompetensi perusahaan adalah produk dari fenomena sosial yang kompleks. Contoh kompetensi yang kompleks secara sosial meliputi relasi antar pribadi, kepercayaan, dan persahabatan di antara manajer dan antar manajer dengan pegawai serta reputasi perusahaan dengan pemasok dan pelanggan.

4.   Sulit Digantikan (Insubstitutability)

Kompetensi yang sulit digantikan adalah kompetensi yang tidak memiliki ekuivalen strategis. Dua sumberdaya perusahaan yang bernilai (atau dua kumpulan sumberdaya perusahaan) ekuivalen secara strategis ketika tiap sumberdaya itu dapat dieksploitasi secara terpisah untuk mengimplementasikan strategi-strategi yang sama. Secara umum, nilai strategis dari kompetensi meningkatkan kesulitan untuk menggantikannya. Semakin tidak terlihat suatu kompetensi, semakin sulit bagi perusahaan untuk mencari penggantinya dan semakin besar tantangan bagi para pesaing untuk meniru strategi penciptaan nilai perusahaan. 

Keunggulan bersaing sebuah perusahaan harus didasarkan pada sumberdaya khusus yang menjadi penghalang (barriers) aktivitas peniruan dan ancaman pengganti (imitation and substitution) produk atau jasa perusahaan. Meningkatnya tekanan persaingan dapat menurunkan keunggulan bersaing perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa bagi sebuah perusahaan, agar tetap bertahan hidup (survive) di tengah tekanan persaingan yang semakin tajam, perusahaan harus mengambil tindakan yang dapat mempertahankan dan  memperkuat kompetensinya yang unik (Reed and DeFillipi, 1990). Sumberdaya dan kompetensi perusahaan dapat ditempatkan dalam sebuah kontinum untuk melihat bahwa sumberdaya dan kampetensi tersebut tahan lama dan tidak dapat ditiru

Prahalad and Hamel (1989) menemukan bahwa perusahaan yang sukses adalah perusahaan yang berfokus pada peningkatan kompetensi, yang digunakan dengan cara-cara baru dan inovatif untuk mencapai tujuan. Perhatian utama perusahaan adalah menggunakan sumberdayanya dalam cara-cara yang menantang dan kreatif untuk membangun kompetensi inti. 

Kompetensi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja perusahaan (Absah, 2007). Perusahaan yang memiliki tim manajemen dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain yang tidak dapat melakukannya.  Dengan kompetensi superior akan memungkinkan perusahaan memperoleh informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya.

Dengan demikian, perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi, akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan dengan kompetensi superior dapat memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya. Agar dapat mempertahankan keunggulan bersaing tersebut, kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan.

Menurut Godfrey and Hill (1995), kompetensi yang tidak mudah ditiru merupakan inti (poros) dari teori resource-based, dan sentral pemahaman mengenai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Dierickx and Cool, 1989; Spender and Grant, 1996).

Selanjutnya Pace et al. (2005) menemukan bahwa kompetensi yang sulit ditiru memiliki hubungan yang positif dengan kinerja.  Kompetensi mungkin dilindungi dari peniruan dengan berbagai cara. Kompetensi yang berasal dari faktor sejarah seperti lokasi yang strategis, kepemilikan hak cipta, akan melindungi sumberdaya bernilai tersebut dari tindakan peniruan oleh pesaing. Sumberdaya yang bersifat socially complex, seperti reputasi yang baik dan kepercayaan merupakan sumberdaya yang membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi untuk ditiru.

Terakhir, causal ambiguity merupakan ambiguitas mengenai hubungan antara kompetensi perusahaan dengan keunggulan bersaing (Reed and DeFillipi, 1990; Barney, 1991) akan melindungi kompetensi dari usaha peniruan (Lippman and Rumelt, 1982; Dierickx and Cool, 1989; Barney, 1991). Causal ambiguity akan melindungi kompetensi dari usaha peniruan karena pesaing tidak mengerti hubungan antara kompetensi ini dengan keunggulan bersaing.

Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu kompetensi yang sulit ditiru. Pengetahuan akan menjadi kompetensi yang sulit untuk ditiru karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang dimiliki perusahaan akan menjadi menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi kinerja superior. Seperti juga yang ditemukan oleh Hatch and Dyer (2004) bahwa pesaing tidak dapat dengan cepat dan murah meniru atau mengganti nilai dari sumberdaya manusia khusus yang dimiliki perusahaan.

Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa keunggulan bersaing akan berlanjut bila didasar pada sumberdaya manusia yang tak berwujud dan bersifat socially complex (Arthur, 1994; Huselid, 1995; Kock and McGrath, 1996).    Causal ambiguity dijelaskan dalam literatur dengan dua cara berbeda. Pertama, linkage ambiguity adalah ambiguitas diantara pengambil keputusan mengenai hubungan antara kompetensi dengan keunggulan bersaing (Lippman and Rumelt, 1982; Barney, 1991). Kedua, characterictic ambiguity yang difokuskan pada karakter dari kompetensi, yang sekaligus merupakan sumber keunggulan dan ambiguitas.

Characterictic ambiguity  adalah ambiguitas yang melekat pada sumberdaya itu sendiri Ketertutupan (tacitness) merupakan salah satu karakteristik causally ambiguity (Reed and DeFillippi, 1990; Barney, 1995; Godfrey and Hill, 1995; Hart, 1995; Szulanski, 1996; Inkpen and Dinur, 1998; Simonin, 1999). Tacitness merefleksikan bahwa sebuah kompetensi adalah “intuitif, non-verbal dan tidak terucapkan” (Hedlund and Nonaka, 1993:118). Tacit knowledge lebih ambigu dibandingkan articulates atau explisit knowledge (Winter, 1987; Reed and DeFillippi, 1990; Kogut and Zander, 1992). Pengetahuan eksplisit dijabarkan sebagai “formal, sistematik dan tujuan yang ditunjukkan dalam kata atau angka“ (Baker et al., 1997). Pengetahuan eksplisit dapat diturunkan dari sejumlah sumber yang meliputi data, proses bisnis, kebijakan dan prosedur, serta sumber eksternal seperti informasi pasar (Baker et al., 1997). Sedangkan pengetahuan tacit berupa pengetahuan, pengalaman, keahlian, model mental, intuisi dan kepercayaan (Baker et al., 1997), yang sangat dinamis dan khusus (Martensson, 2000; Tsoukas and Vladimirou, 2001).

Kompetensi juga dikarakteristikkan sebagai causally ambiguous ketika kompetensi tersebut berada dalam budaya dan nilainilai organisasi (Masakowski, 1997) karena kompetensi yang berada dalam budaya mungkin lebih pasti dan kurang mobile dibandingkan dengan pengetahuan yang berada pada individu atau sekelompok kecil. Itami and Roehl (1987) menyatakan bahwa elemen kunci strategi adalah mengelola aset-aset tak bewujud (seperti keahlian, reputasi, dll.).

Penelitian yang dilakukan oleh Bharadwaj et al. (1993) menemukan bahwa keunggulan bersaing sangat penting dalam mencapai kinerja superior pada perusahaan jasa. Dimana keunggulan bersaing dapat diperoleh dengan memiliki seperangkat keahlian dan kompetensi yang unik sehingga sulit ditiru oleh para pesaing. Dukungan juga diberikan oleh Mehra (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sumberdaya yang dimiliki perusahaan dengan kinerja yang lebih tinggi.

Selanjutnya hasil penelitian Pace et al. (2005) menemukan bahwa berdasarkan pendekatan Resource-Based View (RBV), penyebab utama perbedaan kinerja diantara perusahaan adalah karena perbedaan sumber-sumberdaya khusus dan akumulasi kompetensi yang dimiliki perusahaan. Penelitian ini menguji hubungan antara kinerja persaingan dengan sumberdaya strategis yang dimiliki perusahaan.

Melalui metodologi riset yang dibangun oleh Rudolphe Durand, diperoleh hasil yang memuaskan mengenai hubungan antara tingkat pengaruh kompetensi dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi yang semakin sulit untuk ditiru (imitability) dan semakin sulit untuk dipindahkan (immobility) menyebabkan profitabilitas, margin dan kinerja pasar yang lebih tinggi.

Ditemukan bahwa kompetensi yang sulit ditiru memiliki hubungan yang positif hanya dengan kinerja pasar (market performance). Sedangkan kompetensi yang sulit untuk dipindahkan (immobility) ditemukan memiliki hubungan positif dengan profitabilitas dan berhubungan negatif dengan margin. Hasil studi ini juga konsisten dengan Pace et al. (2005). yang menemukan adanya hubungan antara profitabilitas dengan sumberdaya dan bagaimana mengelolanya.

O’Regan and Ghobadian (2004) juga menemukan bahwa kompetensi perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap strategi dan pencapaian kinerja secara keseluruhan. Namun demikian studi yang dilakukan Fernandes et al. (2005) yang berjudul resources that drive performance: an empirical investigation memberikan hasil yang berbeda.

Fernandes et al. melakukan penelitian pada perusahaan air minum Brazil mengenai sumberdaya yang menghasilkan kinerja perusahaan berdasarkan praktek sumberdaya manusia, kompetensi karyawan dan sumberdaya berwujud lainnya serta melakukan evaluasi kinerja berdasarkan model Balanced-Scorecarad. Fernandes et al. menemukan bahwa secara umum sumberdaya memiliki pengaruh terhadap kinerja, namun bila bila diteliti lebih jauh maka ditemukan bahwa kompetensi karyawan justru tidak berpengaruh terhadap kinerja; faktor-faktor lingkungan yang dikaitkan dengan permintaan merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi kinerja; serta kepuasan karyawan berpengaruh pada semua perspektif BSC.

Daftar Pustaka

Absah, Yeni, 2007. Pengaruh Pembelajaran Organisasi,  Kompetensi, dan Tingkat Diversifikasi terhadap Kinerja Perguruan Tinggi Swasta di Sumatera Utara, Disertasi, Surabaya, Universitas Airlangga.

Barney, J.B., 1986a. Strategic Factor Markets: Expectations, Luck and Business Strategy, Management Science, Vol.32, pp.1231-1241.     

Bogner, W.C. and H. Thomas, 1994. Core Competences and Competitive Advantage: A Model and Illustrative Evidence from Pharmaceutical Industry, in Hamel, G. and W. Heene (Eds.), Competences-based Competition, New York: John Wiley & Sons.

Capron L. and J. Hulland, 1999. Redeployment of Brand, Sales Forces and General Marketing Management Expertise Following Horizontal Acquisitions: A Resource-based View, Journal of Marketing, Vol.63, April, pp.4154.

Fleisher, C.S and B.E. Bensoussan, 2003. Strategic and Competitive Analysis: Methods and Techniques for Analysis Business Competition, New York: Prentice-Hall, Englewood Cliffs. 

Godfrey, P.C. and C.W.L. Hill, 1995. The Problem of Un-observables in Strategic Management Research, Strategic Management Journal, Vol.16, No.9, pp.519-533.

Grant, R.M., 1991. The Resource-Based Theory of Competitive Advantage: Implications for Strategy Formulation, California Management Review, spring, pp.114-135.    

Hall, R., 1994. A Framework for Identifying the Intangible Sources of Sustainable Competitive Advantages, in Hamel G. and A. Heene (Eds), Competence-based Competition, Chichester: John Willey & Sons.

Hamel, G. and A. Heene, 1994. Competence-based Competition, Chichester: John Willey & Sons.

Huselid, M.A., 1995. The Impact of Human Resource Management Practices on Turnover, Productivity,  and Corporate Financial Performance, Academy of Management Journal, Vol.38, No.3, pp.635-672. 

Inkpen, A.C. and A. Dinur, 1998. Knowledge Management Process and International Joint Ventures, Organization Science, Vol.9, pp.454-468.

Lippman S. and R. Rumelt, 1982. Uncertainty Immitability: An Analysis of Interfirm Differences in Efficiency under Competition, Bell Journal of Economics, Vol.13, pp.418430.

Martensson, M., 2000. A Critical Review of Knowledge Management as a Management Tool, Journal of Knowledge Management, Vol.4, No.3, pp.204-216.

Meyer, M.H. and J.M. Utterback, 1993. The Product Family and the Dynamics of Core Capability, Sloan Management Review, Vol.34, No.3, pp.29-47. Oliver, C., 1997.

Pace, E.S. Ulrich, D. Meirelles and L. Creuz Basso, 2005. The Contributions of Specific Resources from the Firm in its Competitive Performance: A Resource-Based View Approach in the Software Sector, Working Paper Series, Sao Paulo: Mackenzie Presbiterian University. Peteraf, M.A., 1993.

Prahalad, C.K. and G. Hamel, 1989. Strategic Intent, Harvard Business Review, May-June, pp. 6376. , 1990.

Reed, R. and R.J. DeFillippi, 1990. Causal Ambiguity, Barriers to Imitation and Sustainable Competitive Advantage, Academy of Management Review, Vol.15, No.1 (January), pp.88-102.

Spender J.C. and R.M. Grant, 1996. Knowledge and the Firm: Overview, Strategic Management Journal, Winter Special, Issue 17, pp.5-9. 

Teece, D.T., G. Pisano and A. Shuen, 1997. Dynamic Capability and Strategic Management, Strategic Management Journal, Vol.18, No.7, pp.509-533

Tuominen, M., K. Moller and A. Rajala, 1997. Marketing Capability: A Nexus of Learningbased Resources and Prerequisite for Market Orientation, Proceedings of the Annual Conference of the European Marketing Academy, May, pp.1220-1240.

Wernerfelt, B., 1984. A Resource-Based View of the Firm, Strategic Management Journal, Vol.5, pp.171-180.

Wheelen, T.L. and J. David Hunger, 2002. Strategic Management and Business Policy. Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall. 

Williams, J.R., 1992. How Sustainability is Your Competitive Advantage?  California Management Review, Spring, p.33.

Winter, S.G., 1987. Knowledge and Competence as Strategic Assets, The Competitive Challenge: Strategies for Industrial Innovation and Renewal, Teece, D.T. (ed.), Cambridge, MA: Ballinger

Artikel keren lainnya:

Pengertian Kompetensi

Teece et al. (1997) melihat sumberdaya sebagai “aset-aset khusus perusahaan yang sulit, yang jika mungkin tidak dapat ditiru, dimana kompetensi dihasilkan dari integrasi asset-aset khusus perusahaan.” Kompetensi merupakan kemampuan dan pengetahuan perusahaan yang menjadi dasar pemecahan masalah sehari-hari (Henderson and Cockburn, 1994).

Definisi lain menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan perusahaan untuk mengekploitasi sumberdaya yang berbeda, dengan menggunakan berbagai proses organisasi untuk mencapai hasil yang diinginkan (Grant, 1991; Amit and Schoemaker, 1993).

Helfat and Peteraf (2002) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset atau input untuk melakukan kegiatan produksi baik berwujud maupun tidak berwujud yang dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan atau memiliki akses ke barang semi-permanen lain.

Sedangkan Wheelen and Hunger (2002:81) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset, kompetensi, proses, keahlian atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan.

Capron and Hulland (1999) mendefinisikan sumberdaya sebagai sejumlah pengetahuan, aset fisik, manusia, dan faktor-faktor berwujud dan tidak berwujud lainnya yang dimiliki atau dikendalikan perusahaan, yang memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan secara efektif dan efisien penawaran pasar yang bernilai untuk beberapa segmen pasar.

Sumberdaya, menurut Barney (1991) meliputi semua aset seperti keahlian, proses organisasi, atribut, informasi dan pengetahuan yang dikuasai oleh perusahaan dan yang menyebabkan perusahaan dapat menyusun dan mengimplementasikan strategi yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Kompetensi didasarkan pada informasi, proses-proses berwujud dan tidak berwujud, dan mengembangkannya sepanjang waktu melalui interaksi yang kompleks antara dan diantara sumberdaya (Amit and Schoemaker, 1993).

Kekuatan suatu perusahaan yang tidak dapat dengan mudah ditandingi atau ditiru oleh pesaing disebut kompetensi (David, 2002:142). Kompetensi juga dinyatakan sebagai kemampuan mengorganisir pekerjaan dan menyampaikan nilai; kompetensi dapat meliputi komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang besar untuk bekerja sepanjang batas-batas organisasi (Prahalad and Hamel, 1990; Kogut and Zander, 1992).

Kompetensi juga dapat dirasakan sebagai asetaset perantara yang diturunkan perusahaan untuk meningkatkan produktifitas sumberdayanya, seperti fleksibilitas strategi dan perlindungan terhadap produk dan jasa-jasa akhir perusahaan (Amit and Schoemaker, 1993). 

Bogner and Thomas (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai keahlian khusus yang dimiliki perusahaan dan pengetahuan yang diarahkan untuk mencapai tingkat kepuasan konsumen yang lebih tinggi  dibandingkan pesaingnya.

Selanjutnya kompetensi inti adalah keahlian yang memungkinkan perusahaan mencapai dasar-dasar customer benefits (Hamel and Heene, 1994:87) melalui pembentukan, peningkatan,  pembaharuan dan  penggunaan sumberdaya yang membawa pada keunggulan bersaing yang berkelanjutan.

Untuk mempertahankan keunggulan bersaing, kompetensi inti haruslah menambah nilai, sulit digantikan, sulit bagi pesaing untuk meniru, dan dapat dipindahkan sepanjang perusahaan (Barney, 1991; Grant, 1991, 1996).

Lebih lanjut, setidaknya empat mekanisme dikaitkan dengan kompetensi, yakni timecompression diseconomies, efisiensi aset massa, keterkaitan antar aset, dan causal ambiguity (Dierickx and Cool, 1989) yang membantu melindungi aset dari keusangan dan keunggulan bersaing yang berkelanjutan yang dihasilkan dari kompetensi inti Kompetensi haruslah mengintegrasikan sejumlah keahlian atau teknologi, menjadi kekuatan bersaing yang unik, dan memberikan kontribusi pada nilai serta memberikan kemampuan untuk masuk ke pasar yang baru (Prahalad and Hamel, 1990; Hamel and Heene, 1994).

Bogner and Thomas (1994) yang mendefinisikan kompetensi inti sebagai keahlian khusus yang dimiliki perusahaan dan pengetahuan yang diarahkan untuk mencapai tingkat kepuasan konsumen yang lebih tinggi dibandingkan pesaingnya.

Daftar pustaka

Amit, R. and P.J.H. Schoemaker, 1993. Strategic Assets and Organizational Rent, Strategic Management Journal, Vol.14, pp.33-46

Barney,1991, Firm Resources and Sustained, Competitive Advantage, Journal of Management, Vol.17, No.1, pp.99-120

Bogner, W.C. and H. Thomas, 1994. Core Competences and Competitive Advantage: A Model and Illustrative Evidence from Pharmaceutical Industry, in Hamel, G. and W. Heene (Eds.), Competences-based Competition, New York: John Wiley & Sons

Capron L. and J. Hulland, 1999. Redeployment of Brand, Sales Forces and General Marketing Management Expertise Following Horizontal Acquisitions: A Resource-based View, Journal of Marketing, Vol.63, April, pp.4154

Dierickx, I. and K. Cool, 1989. Asset Stock Accumulation and Sustainability of Competitive Advantage, Management Science, Vol.35, pp.88-108

Grant, R.M., 1991. The Resource-Based Theory of Competitive Advantage: Implications for Strategy Formulation, California Management Review, spring, pp.114-135

Hamel, G. and A. Heene, 1994. Competence-based Competition, Chichester: John Willey & Sons

Helfat, C.E. and M.A. Peteraf, 2002. The Dynamic Resource-Based View: Capability Lifecycles, Working Paper, No.03-08

Henderson R. and I. Cockburn, 1994. Measuring Competence? Exploring Firm Effects in Phramaceutical  Research, Strategic Management Journal, Vol.15, No.2, pp.6384.

Prahalad, C.K. and G. Hamel, The Core Competence of the Corporation, Harvard Business Review, June, pp.79-91

Wheelen, T.L. and J. David Hunger, 2002. Strategic Management and Business Policy. Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall

Artikel keren lainnya:

Pengertian Sikap

Menururt Fishbein dan Ajzen (Engel, et al., 1992; 339) sikap adalah organisasi yang relatif menetap dari perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku terhadap orang lain, kelompok, ide, ataupun objek tertentu.

Dari pengertian ini ada tiga hal penting terkandung dalam sikap yang selanjutnya disebut komponen sikap yakni: aspek afeksi (perasaan), aspek kognitif (keyakinan), dan aspek konatif atau kecenderungan berperilaku (dalam bentuk nyata atau kecenderungan).

Aspek afeksi dari sikap menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap obyek sikap. Secara umum perasaan ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap suatu obyek. Contohnya adalah evaluasi terhadap merek. Evaluasi terhadap merek tertentu menunjukkan atribut-atribut merek yang dapat dirasakan komponen, dapat diukur dari penelitian yang diberikan terhadap merek tersebut mulai dari yang paling jelek atau paling disukai sampai yang paling tidak disukai.

Aspek kognitif, yakni komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, opini-opini dan persepsi individu terhadap obyek. Keinginan ini diperoleh melalui pemrosesan informasi yang diterima atau melalui interaksi langsung dengan objek tersebut. Komponen kognitif dari sikap adalah keyakinan. Keyakinan komponen tentang merek adalah karakteristik (atribut) yang dianggap berasal atau memiliki merek tersebut.

Aspek konatif adalah komponen yang menunjukkan kecenderunagn seseorang untuk berperilaku terhadap suatu sikap. Asumsi dasarnya adalah bahwa kepercayaan dan perasaan dipengaruhi perilaku. Artinya komponen ini menyatakan bahwa di dalam diri seseorang untuk melakukan perilaku. Kecenderungan konsumen untuk bertindak terhadap suatu obyek biasanya diukur dalam bentuk minatnya untuk melakukan pembelian.

Komponen konatif dari sikap adalah kecenderungan bertindak. Istilah sikap berasal dari kata latin yang berarti “Posture” atau “posisi Phisik”. Pengertian umum bahwa sikap adalah posisi phisik dapat menunjukkan berbagai jenis tindakan, di mana seorang akan melaksanakannya. Tapi untuk saat ini, konsep sikap telah diperluas yaitu sikap mencerminkan posisi mental seseorang.

Defenisi klasik yang menyatakan bahwa sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk menaggapi suatu objek atau kelas obyek secara konsisten dengan cara menyukai atau tidak menyukai (Engel et al., 1994).

Dari defenisi di atas, sikap mempunyai tiga ciri yang terutama yaitu: sikap dipelajari, sikap adalah konsisten, sikap adalah kecenderungan untuk menanggapi suatu obyek. Ciri sikap yang utama yaitu sikap dapat dipelajari, artinya seorang konsumen dalam menanggapi suatu obyek apakah dia menyukai atau tidak menyukai akan dipengaruhi oleh informasi dan pengalaman-pengalaman di masa lalu. Ciri yang kedua yaitu sikap adalah konsisten berarti seseorang konsumen akan berperilaku secara tetap dan bertahan lama terhadap suatu obyek yang sama. Berdasarkan alasan ini, maka sikap amat sukar berubah. Ciri kekonsistenan inilah yang membedakan konsep sikap dengan konsep lainnya seperti: sifat, motif dan kebiasaan (Ajzen dan Fishbein, dalam Engel et al., 1994).

Selanjutnya ciri yang ketiga dari sikap adalah kecenderungan untuk menanggapi suatu obyek, berarti sikap mempunyai hubungan dengan perilaku seseorang (konsumen) yang sesungguhnya. Ini berarti apabila diketahui sikap konsumen terhadap suatu merek tertentu akan membantu para pemasar untuk mengetahui bagaimana konsumen akan bertindak pada merek itu di masa yang akan dating (Wilkie, 1990). Sebagai contoh: jika si A tidak mempunyai  komputer merek Acer, maka pemasaran tidak akan mengharapkan si A untuk membeli komputer tersebut. Sedangkan kata obyek dalam defenisi di atas dapat diartikan secara luas, yaitu dapat berupa: issue (issues), tindakan (actions), perilaku (behavior), praktek (practices), pribadi (persons), atau kejadian (events).

Dari uraian di atas, maka sikap tidak sama dengan perilaku, tetapi menunjukkan evaluasi penilaian baik atau buruk terhadap obyek sikap, dan sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan sikap mempunyai ciri motivasi, sehingga dapat mendorong konsumen terhadap perilaku tertentu.

Jadi komponen yang terpenting dari sikap adalah komponen affects (perasaan menyukai atau tidak menyukai; baik atau buruk dll). Oleh karena itu sikap tidak dapat diobservasi langsung, tetapi hanya dapat disimpulkan melalui kegiatan penelitian.

Daftar Pustaka

Engel, J.F., R.D. Blackweel and P.W. Miniard, (1995), Perilaku Konsumen , jilid 1. Edisi ke enam, terjemahan oleh Budiyanto, Binarupa Aksara, Jakarta.

Kalangi, Josep dan Basu Swastha DH, (1992), “Analisa Perilaku Komsumen terhadap Pembelian Komputer Merek Wearnes di Kodya Yogyakarta”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta.

Kotler et al., (1995), Marketing Management: Asian Prespection  Prentice Hall International, Inc., Singapore. Loudon, D.L. and Bitta, D.A.J., 91993), Consumer Behavior: Concepts and Aplication , Mc. Graw Hill Inc., New York, USA

Moh. Nazir, (1998), Metode Penelitian , Cetakan ke dua, Ghalia Indonesia, Jakarta

Artikel keren lainnya:

Elemen-elemen perilaku loyal pelanggan

Elemen-elemen perilaku loyal pelanggan dapat diukur dalam bentuk :

1. Jumlah rupiah atau volume produk atau jasa yang dipesan (dibeli)  selama periode waktu tertentu;

2. Customer lifeture, atau rata-rata lamanya waktu atau Number  of brands  purchase (jumlah  merek   yang dibeli), yaitu tingkat persentase  pelanggan dari  suatu produk untuk  hanya  membeli satu merek, dua merek, tiga merek, dan seterusnya, diukur dalam bulanan atau tahunan, periode waktu yaitu rata-rata lamanya pelanggan melakukan usaha dengan perusahaan;

3. Customer share yaitu sejauh mana seorang pelanggan mememenuhi setiap kebutuhannya atas jenis produk dan jasa yang ia inginkan dari berbisnis dengan perusahaan; atau

4. Repurchase rates (tingkat pembelian ulang), yaitu tingkat persentase pelanggan yang membeli merek yang sama dengan produk tersebut. 

Pelanggan yang loyal umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternative merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik jasa yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti merek tersebut memiliki brand equity yang kuat.

Daftar pustaka

Seyhmus Baloglu, 2002, Dimention of customer loyalty, Cernell University, Refereed article.

Vikas Mittal and Wagner .A. Kamakura, 2001,  “Repurchase Intent, and Repurchase Behavior: Investigating The Moderating Effect Of Customer Characteristics”, Journal Of Marketing Research, Vol. XXXVIII (February: 131-142).

Vikas Mittal, Pankaj Kumar, & Michael Tsiros, 1999, “Attribute-Level Performance, Satisfaction, and Behavioral Intentions over Time: A Consumeption-System Approach”, Journal of Marketing, Vol. 63 (April 1999), 88-101.

Widji Astuti, 2002, Pengaruh Pengembangan Nilai Pelanggan Melalui Multiguna Produk, Relasional dan Citra Usaha Terhadap Aktivitas Menabung Pada Bank Umum (Di Wilayah Kerja Bank Indonesia Malang), Disertasi, Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Yi-Ting Yu and Alison Dean, 2001, “The contribution of emotional satisfaction to customer loyalty”, International journal of service industry Management

Artikel keren lainnya:

Tentang kepuasan pelanggan

Kepuasan tidak akan pernah berhenti pada satu titik, bergerak dinamis mengikuti tingkat kualitas produk dan layanannya dengan harapan-harapan yang berkembang di benak konsumen. Harapan pembeli dipengaruhi oleh pengalaman pembelian mereka sebelumnya, nasehat teman dan kolega, serta janji dan informasi pemasar dan pesaingnya.

Crosby and Stephens (1987) mengemukakan konseptual dari kepuasan konsumen overall terhadap jasa (service) terdiri atas tiga hal penting, termasuk kepuasan terhadap : (1) contact person; (2) the core service, and (3) the organization.

Kotler (2000); Zeitham, Berry, dan Parasuraman (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah ia membandingkan antara kinerja yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. 

Penelitian Parasuraman, et.al.(1993) dan Coyne (1989) menge-mukakan ada dua level harapan konsumen terhadap kualitas layanan : level layanan yang diinginkan (desired service) dan level layanan memadai (adequate service).

Desired service merupakan level harapan yang diharapkan konsumen untuk diterima. Harapan yang dimaksud adalah gabungan dari apa yang diyakini konsumen dapat (can be) dan harus (shuold be) disampaikan, sedangkan adequate service adalah level layanan yang akan diterima oleh konsumen.

Level layanan ini merupakan layanan minimum yang dapat diberikan suatu perusahaan dan masih diharapkan memenuhi kebutuhan dasar konsumen. Kedua level tersebut akan menjadi batas yang disebut zone toleransi (zone of tolerance).

Daftar pustaka

Parasuraman, Valarie Zaithaml, Berry and Leonard, 1985, “A Conceptual Model Of Service Quality and Implication for Future Research’, Journal of Marketing, 49 (Fall) p. 41-50

Bob Waworuntu, 1997, Dasar-dasar Keterampilan Melayani Nasabah Bank, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Damodar Gujarati dan Sumarno Zain, 1991, Ekonometrika Dasar, Cetakan, PT. Gelora Aksara Prtama, Penerbit, Arlangga.

Deepak Sirdesh Mukh, Jagdip Singh, dan Barry Sabol, 2002, “Consumer Trust, Value, and Loyalty in Relational Exchanges”, Journal of Marketing, Vol. 66 (January 2002), 15-37.

Ellen C. Garbarino dan Mark S. Johnson, 1999, “The Different Roles of Satisfaction, Trust, and Commitment in Customer Relationships”, Journal of Marketing, Vol .63 (April 1999) 7087.

Gordon Fullerton ang Shirly Taylor, 2002, “Mediating, Interaction and non-linear effects in service quality and satisfaction with service research’, Canadian journal of administrative science

Artikel keren lainnya:

3 elemen penting yang mendasari komunitas merek

Komunitas merek adalah sekelompok sosial yang memiliki ikatan solidaritas yang tinggi akan sebuah merek (brand) dengan maksud dan tujuan yang sama.

Lebih lanjut Muniz dan O’Guinn (2001) mengungkapkan adanya 3 elemen penting yang mendasari komunitas, yaitu: 

1. Kesadaran Bersama (Consciousness of Kind)

Consciousness of kind ini mengacu pada hubungan intrinsik dan perasaan kolektif diantara para anggota dan sekaligus merasakan perbedaan dengan mereka yang tidak termasuk anggota komunitas. Consciousness of kind juga mencakup rasa kepemilikan komunitas dari orang yang mempunyai ketertarikan yang sama.

Anggota komunitas cenderung untuk mengidentifikasi dirinya dengan yang lain. Melalui konsumsi suatu merek, anggota komunitas merasa bahwa mereka saling memahami satu sama lain.

Dalam kesadaran bersama ini terdapat dua elemen dasar yaitu Legitimasi atau proses dimana anggota komunitas membedakan antara anggota komunitas dengan yang bukan anggota komunitas, atau memiliki hak yang berbeda. Yang kedua Loyalitas Merek Oposisi yaitu proses sosial yang terlibat selain kesadaran masyarakat atas suatu jenis produk (Conciousness of kind). Melalui oposisi dalam kompetisi merek, anggota komunitas merek mendapat aspek pengalaman yang penting dalam komunitasnya, serta komponen penting pada arti merek tersebut. Ini berfungsi untuk menggambarkan apa yang bukan merek dan siapakah yang bukan anggota komunitas merek.

2. Ritual dan Tradisi (Rituals and Tradition )

Ritual dan tradisi juga nyata adanya dalam komunitas merek. Ritual dan tradisi mewakili proses sosial yang penting dimana arti dari komunitas itu adalah mengembangkan dan menyalurkan dalam komunitas. Beberapa diantaranya berkembang dan dimengerti oleh seluruh anggota komunitas, sementara yang lain lebih diterjemahkan dalam asal usulnya dan diaplikasikan. Ritual dan tradisi ini dipusatkan pada pengalaman dalam menggunakan merek dan berbagi cerita pada seluruh anggota komunitas. Seluruh komunitas merek bertemu dalam suatu proyek dimana dalam proyek ini ada beberapa bentuk upacara atau tradisi. Ritual dan tradisi dalam komunitas merek ini berfungsi untuk mempertahankan tradisi budaya komunitas.

3. Rasa Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility)

Komunitas juga ditandai dengan tanggungjawab moral bersama. Tanggungjawab moral adalah memiliki rasa tanggungjawab dan berkewajiban secara keseluruhan, serta kepada setiap anggota komunitas. Rasa tanggungjawab moral ini adalah hasil kolektif yang dilakukan dan memberikan kontribusi pada rasa kebersamaan dalam kelompok. Tanggungjawab moral tidak perlu terbatas untuk menghukum kekerasan, peduli pada hidup. Sistem moral bisa halus dan kontekstual. Demikianlah halnya dengan komunitas merek. Sejauh ini tanggungjawab moral hanya terjadi dalam komunitas merek dengan dua misi yaitu integrasi dan mempertahankan anggota serta membantu dalam penggunaan merek.

Sebuah penelitian tentang komunitas merek dalam industri majalah di New Zeeland (Davidson et.al, 2007 : 322) menemukan terdapat lima karakteristik yang mendorong terbentuknya komunitas merek, yaitu :

a) Brand Image, yaitu citra merek yang terdefinisi dengan baik akan membentuk komunitas merek.

b) Aspek Hedonis, dimana komunitas merek umumnya lebih pada produk yang kaya akan kualitas daya ekspresi, pengalaman dan hedonis.

c) Sejarah, dimana merek yang memiliki sejarah hidup yang panjang akan lebih memungkinkan terciptanya komunitas merek secara alamiah.

d) Konsumsi publik, mencakup produk-produk yang dikonsumsi secara publik mampu menciptakan komunitas mereknya. Produk yang dikonsumsi publik akan melahirkan konsumen yang saling berbagi apresiasi dengan sesamanya, hal ini menjadikan kesempatan untuk menciptakan komunitas merek lebih tinggi.

e) Persaingan yang tinggi, yang mendorong konsumen setianya untuk bersatu dan membentuk komunitas terhadap merek yang disukai.

Daftar pustaka

Muniz, A.M. Jr. And T.C. O’Guinn. 2001. Brand Community. Journal of Consumer Research, 27(4): 412-32.

Davidson, L., Mc Neil, L., & Ferguson, S. 2007. Magazine Communities: Brand Community Formation In Magazine Consumption, International Journal Of Sociology and Social Policy. 27 (5/6). Page 208-220.

Artikel keren lainnya:

Pengertian Produktivitas

Produktivitas adalah tidak lebih dari sekedar ilmu pengetahuan, teknologi, manajamen karena produktivitas mengandung pula falsafah dan sikap mental yang selalu bermotivasi pada pengembangan diri menuju mutu kehidupan hari esok yang lebih baik.

Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efiensi dalam memproduksi barang dan jasa, produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi barang.

Werther (1986:399), mengartikan produktivitas adalah ratio antara output (barangbarang dan jasa-jasa) terhadap input (tenaga kerja, modal ,material dan energi).

Levitan (1984:5) mengatakan produktivitas adalah hubungan antara kuantitas barangbarang atau jasa-jasa yang diproduksi selama periode tertentu dan input tenaga kerja, modal dan sumber alam yang digunakan dalam proses produksi.

John Suprihanto (1988:2.19), mengartikan bahwa produktivitas sebagai kemampuan seperangkat sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan sesuatu atau diartikan juga perbandingan antara pengorbanan (input) dengan penghasilan (out-put).

Terry (1977:79), mengatakan: "Productivity as the ratio of physical output to physical input".

Adam and Ebert (1989:40), juga mengatakan: "Productivity can be expressed on a total factor basis or on a partial factor basis. Total factor productivity is the ratio of outputs over all inputs."

Stevenson (1986:16), mengatakan: "Productivity is a measure of relative amount of input used in achieving  a given amount of output. In fact, it is commonly expressed as the ratio of quantity of output to quantity of input."

J. Ravianto Putra dkk. (1988:3.20), mengatakan: "Jika keluaran akan kita bandingkan dengan salah satu atau dua faktor masukan saja, maka kita menuju pada pengukuran produktivitas partial."

Jadi peningkatan produktivitas di dalam perusahaan harus mengandung beberapa sumber pokok yakni: manusia dan bahan-bahan melalui,: Modal (perlengkapan, material, dan tenaga/energi), Tenaga kerja, Manajemen  dan Organisasi

Daftar pustaka

Adam Jr, Everett E., and Ronald J. Ebert, 1989.Production and Operation Management, 4th ed., Prentice Hall, New Jersey

Levitan, San A, and Diana Werneke, 1984. Produktivity, Problems, Prospects and Polecies, The John Hopkins University Press, Baltimore and London

John Suprihanto, 1988. Manajemen Sumber Daya Manusia II, Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta

Terry, George R., 1977. Principles of Management, 7th ed., Richard D. Irwin Inc., Illinois.

Artikel keren lainnya:

Pengertian Motivasi

Atkinson, Jones, Vroom, Campbell dan Pritchard memberikan pengertian motivasi (Steers dan Porter, 1987:5). Atkinson menyebutkan, “Motivasi memberikan pengaruh langsung tindakan yang terarah, penuh semangat dan menetap”.

Sedangkan Jones menyatakan, “Membuat suatu perilaku muncul, dipacu, diteruskan, dihentikan, dan diikuti oleh reaksi-reaksi subyektif”. Vroom menjelaskan sebagai “Suatu proses memilih alternatif kegiatan yang disadari oleh manusia atau organisasi lainnya”.

Selanjutnya, Campbell dan Pritchard, “Motivasi bekerja dengan satu perangkat variabel dengan satu perangkat variabel independen atau dependen yang saling berhubungan, dan selanjutnya mengarahkan perilaku individu”.

Koontz (1989:115), menyatakan; Motivasi adalah sebagai suatu reaksi, yang diawali dengan adanya kebutuhan yang menimbulkan keinginan atau upaya mencapai tujuan, yang selanjutnya menimbulkan tensi (ketegangan) yaitu keinginan yang belum terpenuhi, yang kemudian menyebabkan timbulnya tindakan yang mengarah pada tujuan dan akhirnya memuaskan keinginan.

Werther and Davis (1985:399), menyatakan;
Motivation is a person’s drive to take an action because that person wants to do so. If people are pushed, they are merely reacting to pressure, They act because thay feel that they have to. However if they are motivated, they make the positive choise to do something because they see this act as meaningful to them. Theor actions, for example, may satisfy some of their needs.

Ada 4 komponen dalam model motivasi ini yakni :
1. Kebutuhan, Hasrat, Harapan
2. Perilaku
3. Insentip atau tujuan dan
4. Umpan – balik

Agar pemberian motivasi dapat efektif menurut Zalesniek and Roethlisberger (1958:327) perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. The technical organization of the group
2. The social structure of the group
3. The individual task motivation i.e. the willingness to work hard each member brings to and maintains toward his job.
4. The reward he receives from doing the job.
5. The satisfaction he obtains from being an accepted member of the group.

Armstrong (1988:69), menyatakan motivasi dapat efektif bila:
1. Memahami proses motivasi, model kebutuhan, sasaran tindakan dan pengaruh pengalaman dan harapan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, pola kebutuhan yang mendorong kearah sasaran dan keadaan dimana kebutuhan tersebut kearah sasaran dan keadaan dimana kebutuhan tersebut terpenuhi atau tidak terpenuhi.
3. Mengetahui bahwa motivasi tidak dapat dicapai hanya dengan menciptakan perasaan puas, karena banyak perasaan puas dapat menimbulkan perasaan puas diri dan kelambanan.
4. Memahami bahwa disamping semua faktor diatas ada hubungan yang kompleks antara motivasi dan prestasi kerja

Daftar pustaka

Armstrong, Michael, 1990.Manajemen Sumber Daya Manusia, terjemahan PT Alex Kompotindi, Jakarta

Streers, Richard M, and Lyman W. Porter, 1987. Motivation and Work Behavior, McGraw-Hill Book Company, New York.

Koontz, Harold, Cyrill O’Donnell, dan Heinz Weihrich, 1989. Manajemen, terjemahan, Erlangga, Jakarta.

Werther Jr, William B. and Keith Davis, 1985. Personnel Management and Human Resources, 2 ed., MC Graw-Hill, Singapore

Zalesniek, A., C.R. Cjristensen and F.J. Roethlisberger, 1958. The Motivation, Productivity and Satisfaction of Worker, Plimton Press, Boston.

Artikel keren lainnya:

Teori Perilaku Konsumtif

Menurut Sumartono (2002:119) indikator perilaku konsumtif yaitu membeli produk karena iming-iming hadiah, membeli produk karena kemasannya menarik, membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi, membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status, memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan, munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi, dan mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda).

Teori Persamaan Media 

Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass (professor jurusan komunikasi Universitas Stanford Amerika) dalam tulisannya The Media Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places pada tahun 1996.

Teori ini relatif sangat baru dalam dunia komunikasi massa Media Equation Theory atau teori persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah (media itu) manusia.

Teori yang dikemukakan oleh Reeves dan Nass ini tergolong dalam teori empiris (positivistik). Berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Chaffee dan Berger tahun 2007, teori ini masuk dalam kategori teori empiris karena :
1. Teori ini memprediksi bagaimana seseorang memperlakukan media (berdasarkan teori interpersonal) layaknya media itu adalah manusia
2. Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa itu aktif
3. Teori ini relatif mudah dimengerti
4. Teori ini termasuk aliran positivis (generalisasi, satu kebenaran, perilaku bisa diprediksi, dan tidak melihat nilai-nilai yang dianut seseorang)

Jelas teori ini berkenaan sekali dengan penggunaan Instagram saat ini, bahwa dengan media komunikasi seperti Instagram yang merupakan aplikasi media sosial yang terfokuskan pada sebuah foto dan bahkan video yang memiliki berbagai informasi dan makna, kita dapat berinteraksi dengan media elektronik seperti smartphone seolah-olah smartphone ini adalah lawan bicara kita. Serta penggunaan nya yang saat ini sebagai media pemenuh kebutuhan untuk berbelanja secara praktis, cepat dan tepat waktu.  

Dalam hal ini media-media seperti smartphone lah yang dapat digunakan untuk menunjang proses ini, media inilah yang menjadi lawan dalam komunikasi manusia. Karena itu dalam teori ini media pun disebutkan sebagai manusia karena mampu memberikan feedback langsung terhadap kita manusia yang mengkomunikasikannya.

Teori Konvergensi Media

Konvergensi pada umumnya berarti persimpangan media lama dan baru. Seperti yang dikatakan oleh Henry Jenkins menyatakan bahwa konvergensi media adalah, “ Aliran konten di platform beberapa media, kerja sama antara industri beberapa media dan perilaku migrasi khalayak media.”

Konvergensi media tidak hanya pergeseran teknologi atau proses teknologi, namun juga termasuk pergeseran dalam paradigma industri, budaya, dan sosial yang mendorong konsumen untuk mencari informasi baru. 

Konvergensi media terjadi dengan melihat bagaimana individu berinteraksi dengan orang lain pada tingkat sosial dan menggunakan berbagai platform media untuk menciptakan pengalaman baru, bentuk-bentuk baru media dan konten yang menghubungkan kita secara sosial termasuk ketika para perempuan dalam penelitian ini menggunakan Instagram untuk berbelanja secara online, dan tidak hanya kepada konsumen lain, tetapi untuk para produsen perusahaan media Konvergensi media yang diteliti oleh Henry Jenkins pada tahun 2006, menyatakan bahwa konvergensi media merupakan proses yang terjadi sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat.

Daftar pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar.  Bandung : Simbosa Rekatama Media

Edi Santoso dan Mite Setiansah. 2010. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti

Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan. Bandung: Alfabeta

Artikel keren lainnya:

Faktor yang mendorong tingginya kebutuhan pasar anak

Jika ditotal, uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kebutuhan anak jumlahnya mencapai triliun rupiah. Fenomena ini menggambarkan potensi pembelian yang sangat besar dari segmen pasar anak sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemasar

Assael dalam Miftahuddin (2005) mengemukakan bahwa sebenarnya daya tarik utama dari pasar anak ini bukan sekadar daya belinya, namun karena anak telah menjadi influencer yang sangat kuat dalam konsumsi keluarga.

Semakin besarnya peran anak dalam keputusan konsumsi keluarga menurut Assael didorong oleh beberapa faktor, yaitu

1) semakin banyaknya ibu yang bekerja diluar rumah,
2) besarnya proporsi orang tua single parent, dan
3) banyaknya rumah tangga yang dual earning.

Peningkatan peran relatif anak yang cukup signifikan dalam keputusan konsumsi keluarga merupakan mata rantai tak terpisahkan dari proses sosialisasi konsumen (consumer socialization) terhadap anak dalam keluarga

Daftar pustaka

Assael, Henry (1998), Consumer Behavior and Marketing Action, International Thomson Publishing, Cincinati, Ohio, USA

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Daftar Profil Anak Indonesia tahun 2012, Jakarta. 

Miftahuddin, Agung (2005) Pengaruh Parental Style dan penghasilan orang tua terhadap keterlibatan anak dalam pembelian keluarga, Thesis.

Wilkes, Robert E. (1997), “Adolescent-parent interaction in family decision making,” Journal of Consumer Research, Vol. 24: 159-169

Artikel keren lainnya:

6 kriteria seseorang dikatakan adiksi internet

Adiksi internet merupakan keadaan dimana seseorang teradiksi untuk tetap online selama jangka waktu yang lama, dan lebih memilih untuk berhubungan dengan orang melalui internet daripada melalui kontak sosial lainnya.

Adapun kriteria adiksi internet menurut Ghriffths (1996):

1. Salience
Hal ini terjadi ketika internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran, perasaan dan tingkah laku.

2. Mood modification
Pengalaman subjektif yang dilaporkan sebagai konsekuensi dari keterlibatan kegiatan tertentu dan dapat dilihat sebagai strategi coping.

3. tolerance
Merupakan proses dimana pemenuhan dalam kadar tertentu harus di penuhi untuk mendapatkan efek perubahan dari mood.

4. withdrawal symptons
Merupakan perasaan tidak menyenangkan atau efek secara fisik yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau di hentikan.

5. conflict
konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya, konflik dalam tugas lainnya dan konflik dengan dirinya sendiri

6. relapse
pengulangan ke pola sebelumnya setelah ada jeda.
Young (1998) menambahkan seseorang dikatakan internet addiction jika menghabiskan waktu untuk online dengan rata-rata waktu 39 jam lebih per minggu.

Artikel keren lainnya:

Tugas guru sebagai pembimbing di sekolah

Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah menitik beratkan kepada bimbingan terhadap perkembangan pribadi melalui pendekatan perorangan dan kelompok siswa yang menghadapi masalah untuk mendapatkan bantuan khusus untuk mampu mengatasinya.

Upaya preventif yang dilakukan guru pembimbing sangat strategis dan sangat membantu terhadap pencegahan penyalahgunaan dan pendekatan dalam peredaran narkotika.

Tugas guru pembimbing adalah
(a) membantu murid untuk mengenal dirinya, kemampuannya dan mengenal orang lain,
(b) membantu murid dalam proses yang menuju kematangannya,
(c) membantu dan mendorong murid untuk pemilihan-pemilihan yang tepat sesuai dengan kemampuan danh interestnya,
(d) memberikan kesadaran kepada murid-murid tentang pentingnya penggunaan waktu luang dan mengembangkan interest dalam hobbies yang berguna,
(e) membantu murid untuk mengerti metode belajar yang efisien agar dapat mencapai hasilnya dengan waktu yang lebih singkat. (H. Koestoer Partowisastro, 1985).

Artikel keren lainnya:

Media pembelajaran dan jenisnya

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, kemampuan, dan ketrampilan pelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar mengajar. 

Dilihat dari jenisnya, media pembelajaran dapat dibagi menjadi beberapa : 

1. Media Audio
Media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang disampaikan melalui media audio dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif, balk verbal maupun non-verbal. Jadi, semua data yang ada baik verbal maupun non-verbal dijadikan satu dalam bentuk suara. Pesan bisa bermacam – macam wujudnya bisa berupa audio lisan, bisa berupa instrument, bisa berupa vokalisasi, dan berbagai macam bunyi yang lain.  

2. Media visual
Media yang hanya mengandalkan indera pengelihatan. Media ini menyampaikan suatu informasi berupa gambar dan visual, ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip, slide, foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Adapula yag menampilkan gambar atau symbol yang bergerak, dan film kartun. Informasi yang disampaikan melalui media visual. Dapat mempercepat daya serap penerima informasi dalam memahami pesan yang disampaikan. 

3. Media audio visual
Media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

Media ini dibagi dalam:
a. Audio visual murni yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti viseo kaset.
b. Audio visual tidak murni yaitu unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda. Misalnya film yang gambarnya berasal dari proyektor dan unsur suaranya berasal dari tape recorder.

Disamping itu para ahli media lainnnya juga membagi jenis-jenis media pengajaran itu kepada: 

* Media bentuk papan; 
* Media bagan dan grafis; 
* Media proyeksi; 
* Media dengar (audio); 
* Media cetak atau printed materials.

Tujuan media pembelajaran adalah sebagai berikut:   
1. Mempermudah proses belajar mengajar. 
2. Meningkatkan efisiensi belajar mengajar.
2. Menjaga relevansi dengan tujuan belajar. 
3. Membantu konsentrasi peserta didik.
4. Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk belajar. 
5. Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional. 
6.,Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional. 
7. Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa.

Sumber :

Perancangan Board Game Pengenalan Dinosaurus Untuk Anak Usia 8 – 12 Tahun, Steven Tan DKV, Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Artikel keren lainnya:

Dampak positif dan negatif penggunaan gadget bagi siswa

Penggunaan gadget bagaimanapun juga, memiliki dampak positif dan negatif, hal ini tergantung bagaimana siswa memaknai penggunaan gadget tersebut. Peran orang tua dirumah dan guru di sekolah sangat diharapkan untuk membantu siswa dalam membatasi diri dalam bergadget.

Adapun dampak positif dan negatifnya sebagai berikut :

Dampak Positif :
1) Memudahkan untuk berinteraksi dengan orang banyak lewat media sosial.

2) Mempersingkat jarak dan waktu, di era perkembangan gadget yang canggih yang didalamnya terdapat media sosial seperti sekarang ini, hubungan jarak jauh tidak lagi menjadi hal yang menjadi masalah dan menjadi halangan.

3) Mempermudah para siswa mengkonsultasikan pelajaran dan tugastugas yang belum siswa mengerti. Hal ini biasa dilakukan siswa dengan sms atau bbm kepada guru mata pelajaran.

4) Mengetahui informasi-informasi tentang kegiatan-kegiatan yang di adakan di sekolah, siswa akan membagi informasi tentang kegiatan, foto yang berkaitan dengan kegiatan di sekolah kemudian membagikannya di grup atau juga bisa langsung membagikan kepada orang-orang tertentu.

Dampak Negatif:

1) Gadget yang memiliki berbagai macam aplikasi akan membuat siswa lebih mementingkan diri sendiri. 

2) Siswa yang telah menggunakan media sosial digadget mereka, lebih banyak menggunakan waktunya untuk berkomunikasi dibandingkan belajar.

Artikel keren lainnya:

Manfaat dan keuntungan pembelajaran tematik

Diterbitkannya UU SISDIKNAS tahun 2003 merupakan titik awal munculnya paradigma baru pendidikan Indonesia. Dalam undang-undang tersebut “proses pengajaran” yang selama ini diterapkan di Sekolah Dasar diganti dengan “proses pembelajaran”, dalam hal ini menggunakan proses pembelajaran tematik (Suliharti, 2007: 221). Mengacu pada undang-undang tersebut, maka sebagian besar Sekolah Dasar di Indonesia telah menerapkan pembelajaran tematik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Pelaksanaan pembelajaran tematik ini akan memberi beberapa manfaat yaitu:

(1) dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indikator serta isi mata pelajaran, akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan,

(2) peserta didik mampu melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan akhir,

(3) pembelajaran menjadi utuh sehingga peserta didik akan mendapat pengertian mengenai proses dan materi yang tidak terpecah-pecah, dan

(4) dengan adanya pemaduan antar mata pelajaran maka penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat (Salimudin, 2011:36).

Sedangkan  keuntungan dari pembelajaran tematik bagi siswa adalah (Trianto, 2011: 160-161):

1. Dapat lebih memfokuskan diri pada proses belajar, dari pada hasil belajar.

2. Menghilangkan batas semu antar bagian kurikulum dan menyediakan pendekatan proses belajar yang integratif.

3. Menyediakan kurikulum  yang berpusat pada siswa yang dikaitkan dengan minat, kebutuhan, dan kecerdasan; mereka didorong untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab pada keberhasilan belajar.

4. Merangsang  penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas.

5. Membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide, sehingga meningkatkan apresiasi dan pemahaman.

Artikel keren lainnya:

8 Jenis kecerdasan jamak pada anak

Berdasarkan teori belahan otak, penelitian Roger Walcot-Sperry menyatakan bahwa masing-masing belahan otak mempunyai tugas sendiri-sendiri tetapi saling mengisi. Belahan kiri berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berbicara, menulis dan berhitung, mengontrol kemampuan menganalisis. Belahan otak kanan berfungsi mengembangkan kemampuan visual dan spasial (pemahaman ruang).

Saat ini teori kecerdasan jamak sering digunakan oleh para pendidik, baik orang tua di rumah ataupun guru di sekolah. Menurut Sabri (1996), tujuan penting dalam mengetahui berbagai aspek yang terdapat dalam kecerdasan jamak adalah diharapkan para pendidik dapat memperlakukan anak sesuai dengan cara dan gaya belajarnya masing-masing (Sujiono 182-183).

Berikut adalah pembagian 8 jenis kecerdasan jamak pada anak menurut teori Howard Gadner :

1. Kecerdasan Linguistik (Word Smart)
Berkaitan dengan kemampuan berbahasa dan merangkai kata. Bentuk kecerdasan ini dapat dilihat dari kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks (Triharso 116).

Anak yang berbakat dalam bidang linguistik dapat distimulasi dengan mengucapkan, mendengar, dan melihat kata-kata, salah satunya ketika anak bermain mereka diperkenalkan pada huruf dan angka. Tujuan mengembangkan kecerdasan linguistik yaitu agar anak mampu berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan baik, memiliki kemampuan bahasa untuk meyakinkan orang lain, mampu mengingat dan menghafal informasi, mampu memberikan penjelasan, dan mampu untuk membahas bahasa itu sendiri (Sujiono 185).

2. Kecerdasan Logika Matematika (Logic / Number Smart)
Merupakan kemampuan dengan menggunakan angkaangka, pemecahan masalah secara logis dan matematis. Materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan ini antara lain : bilangan, pola, perhitungan, pengukuran, geometri, statistik, peluang, pemecahan masalah, logika, game strategi, dan atau petunjuk grafik.

3. Kecerdasan Intrapersonal (Self Smart)
Kemampuan diri untuk berpikir secara reflektif, yaitu mengacu pada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan proses pemikiran diri sendiri. Kegiatan yang mencakup kecerdasan ini adalah berpikir, bermimpi, berdiam diri, mencanangkan tujuan, refleksi, merenung, dan lain-lain.

4. Kecerdasan Interpersonal (People Smart)
Kecerdasan ini adalah berpikir lewat berkomunikasi dengan orang lain serta mengacu pada keterampilan berinteraksi dengan orang lain.

5. Kecerdasan Musikal (Music Smart)
Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titi nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara lagu.

6. Kecerdasan Visual Spasial (Picture Smart)
Kecerdasan visual spasial berhubungan erat dengan kemampuan untuk memvisualisasikan gambar di dalam pikiran seseorang, atau di mana anak berpikir dalam bentuk visualisasi dan gambar untuk memecahkan masalah.

7. Kecerdasan Kinestetik (Body Smart)
Berkaitan dengan jasmani yaitu kemampuan menggunakan tubuh secara terampil, ketangkasan dan keseimbangan gerak, menyukai pengalaman belajar yang nyata.

8. Kecerdasan Naturalistik (Nature Smart)
Anak dengan kecerdasan ini biasanya menyukai ilmuilmu alam, senang memelihara tanaman atau hewan, serta peduli terhadap lingkungan. Materi pendukung kecerdasan ini antara lain : sains permulaan, ilmu botani, gejala-gejala alam, hubungan benda hidup dan tak hidup yang ada di sekitar.

Sumber:

PERANCANGAN MEDIA INTERAKTIF PENGENALAN ALPHABET BERBASIS ALAT PERMAINAN EDUKATIF UNTUK ANAK USIA 2-4 TAHUN Jessica Michaela Mintorogo, Ahmad Adib, Ani Wijayanti.

Artikel keren lainnya:

Guru kurang referensi, pembelajaran tidak berkualitas

Pembelajaran yang baik tercipta karena guru memiliki kompetensi sehingga proses belajar mengajar lebih variatif. Kompetensi dapat meningkat apabila sumber informasi tidak hanya pada satu sumber misalnya buku pelajaran.

Variatif mengandung maksud bahwa terdapat percampuran dari beberapa sumber belajar, seyogyanya guru harus mampu membelajarkan dirinya tidak pada satu sumber saja melainkan juga dari beberapa sumber tersebut.

Kalau sekiranya terasa sulit, satu sumber belajar sudah bisa menciptakan pembelajaran yang vatiatif, dalam hal ini guru harus memiliki kreatifitas, inovatif dan penuh obsesi. Tentunya, harus ada target yang mesti di capai, sehingga segala tindakan dapat diukur, untuk kemudian menjadi data dan informasi dalam rangka perbaikan pembelajaran.

Persoalan dunia pendidikan bukan hanya persoalan kurikulum atau sistem, persoalan utama justru datang dari guru itu sendiri. Tanpa merendahkan guru, sejujurnya yang harus kita jawab adalah berapa banyak guru yang mempunyai website favorit sebagai sumber informasinya? Ingatlah bahwa banyak website dapat menjadi sumber yang baik tentang cara-cara pelaksanaan pembelajaran yang baik, berhasil dan menyenangkan.

Kemudian berapa banyak pula guru yang tahu nama pengarang dari sumber belajarnya? Orang yang sering membuka buku terutama buku kesukaannya pasti hafal nama pengarang dan bahkan penerbitnya.

Bagaimana mau meningkatkan kualitas pendidikan, "sorry" gurunya saja mungkin tidak pernah membaca. Guru yang memiliki keterbatasan informasi, gaya mengajarnya cenderung "hanya kasih buku " atau dari awal hanya "menulis". Apabila menerangkan materi, lebih banyak marahnya. Pada umumnya guru demikian adalah guru yang belum siap mengajar.

Tugas pemerintah sekarang adalah memperbanyak pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pelatihan sangat penting bagi guru, sangat berbeda guru yang selalu mengikuti pelatihan dengan guru yang tidak pernah mengikuti pelatihan. Melalui pelatihan, motivasi belajar dan mengajar guru dapat mengalami peningkatan. Dan melalui pelatihan pula, pertukaran informasi terkait proses belajar mengajar dapat terupdate dengan baik. Apakah pemerintah sudah maksimal terlibat dalam proses peningkatan prestasi belajar mengajar guru?

Semenjak era reformasi, frekuensi pelatihan guru mengalami penurunan akibat desentralisasi yang tidak berjalan dengan baik atau kebijakan pemerintah daerah belum maksimal memandang dunia pendidikan sebagai bagian dari peningkatan pembangunan  di daerah. Banyak hak-hak guru terabaikan salah satunya adalah mengikuti pelatihan. Hal ini terjadi oleh karena kompetensi penyelenggara negara khususnya didaerah tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang dunia pendidikan. Terlalu banyak posisi-posisi strategis terkait pendidikan di tempati oleh orang-orang yang tidak kompeten sebagai imbas dari pengaruh politik.

Padahal untuk membangun sebuah daerah terlebih dahulu sumber daya manusianya yang dibangun. Kesalahan kita selama ini adalah terlalu besar perhatian pemerintah daerah pada pembangunan fisik, pembangunan berupa fisik memang diperlukan namun sumber daya manusianya harus terlebih dahulu siap. Ketika Jepang mengalami kehancuran akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, hal pertama yang mereka prioritaskan adalah pembangunan SDM. Tidak butuh waktu lama, kini Jepang menjadi negara maju, bukan karena faktor lain namun karena kompetensi SDMnya. Uni Emirat Arab termasuk negara terbelakang, rakyatnya hidup nomaden, kurangnya ilmu pengetahuan yang membuat mereka menjadi negara miskin, ketika prioritas pembangunan di arahkan pada pembangunan dunia pendidikan, titik terang mulai terbuka, bahkan kini menjadi negara maju, SDM mampu mengelola SDA-nya tanpa bantuan tenaga asing, bahkan UEA menjadi salah satu negara yang kaya akan tenaga ahli semua bidang. Singapura adalah negara yang tidak memiliki SDA, namun ekonomi mereka jauh di atas Indonesia, tidak lain adalah faktor pendidikan. Malaysia dalam sejarahnya pernah belajar dari Indonesia, kini justru terbalik.

Indonesia merdeka sudah 70 tahun, sampai saat ini Indonesia masih terbelakang di semua bidang. Tidak lain karena dunia pendidikan bukan prioritas utama pembangunan sehingga masyarakatnya selalu terbelakang. Indikator perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan hanya dua, pertama kompetensi guru dan kedua kesejahteraan guru. Sampai saat ini keduanya masih sangat rendah, kompetensi dan kesejahteraan guru jauh dibawah negara-negara lain. Maka jangan heran kalau output yang dihasilkan juga jauh dibawah negara lain, apapun kurikulumnya kalau kedua hal ini tidak di perhatikan tetap pendidikan di Indonesia hanya mampu melahirkan banyak kaum terpelajar tetapi bermental "kacung" karena tidak di dukung dengan kompetensi yang dimiliki.

Dengan demikian, untuk membawa Indonesia menjadi negara maju maka kebijakan pemerintah harus diprioritaskan pada ke dua hal di atas yakni kompetensi dan kesejahteraan. Bagaimana pemerintah mendorong guru agar memiliki motivasi memperkaya dirinya dengan berbagai informasi terbaru, ilmu pengetahuan terbaru yang diperoleh dari berbagai sumber. Berbagai bentuk kegiatan seperti pelatihan, workshop dan bahkan mendatangkan tenaga-tenaga ahli yang langsung melakukan pendampingan di sekolah-sekolah guna membimbing guru untuk bekerja lebih profesional perlu di tingkatkan.

Pemerintah tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kompetensi guru kepada guru itu sendiri, pemerintah harus menjadi privat bagi guru, karena hanya sedikit dari sekian banyak guru yang mau berkorban demi pengembangan dan peningkatan kompetensinya. Hal ini terbukti dari kurangnya jumlah guru yang mengikuti lomba guru berprestasi, banyaknya guru yang mentok pada golongan IV/a, dan kurangnya karya tulis ilmiah hasil karya guru, apalagi kalau berbicara tentang teknologi informasi.

Oleh karena itu, belum bisa kita mengharapkan pembelajaran yang aktif, variatif, kreatif, menyenangkan dan inovatif sebelum ada upaya untuk menuntaskan kompetensi guru yang rendah, motivasi belajar guru yang rendah, kesejahteraan guru yang rendah dan referensi guru yang terbatas akibat kurangnya sumber belajar yang bisa di akses oleh guru.

Artikel keren lainnya:

Dilema seorang guru yang harus dipahami

Ada guru yang berusaha mendisiplinkan siswanya, namun niat baik itu ditanggapi lain oleh sebagian orang tua siswa. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh guru dianggap sebagai penganiayaan atau merendahkan martabat anak oleh orang tua siswa. Kasus ini berujung dengan ditahannya guru atas laporan orang tua siswa.

Kasus seperti di atas banyak terjadi, guru selalu di posisi salah di mata orang tua siswa. Tidak sedikit guru masuk penjara akibat ulah orang tua siswa. Padahal dalam bertindak, guru semata-mata mengharapkan terjadi perubahan sikap dan prilaku siswa, terjadi peningkatan prestasi belajar siswa.

Kalaulah orang tua siswa paham betapa pentingnya pendidikan pada anak maka pastilah tidak akan ada ketidakadilan bagi guru, namun kenyataan tetaplah guru pada posisi serba salah.

Bertindak mendapat masalah, tidak bertindak dianggap tidak memiliki kepedulian. Inilah dilema yang dihadapi oleh guru, akibatnya guru saat ini lebih memilih menyelesaikan materi pelajarannya ketimbang melakukan pembinaan mental dan pembentukan karakter siswa.

Apabila kondisi ini terus berlanjut tanpa ada upaya perlindungan terhadap profesi guru maka segala rencana dan program pembentukan karakter dan pengembangan kurikulum tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Tentunya, ini menjadi kerugian besar bagi siswa dan orang tua siswa itu sendiri dan dunia pendidikan secara umum.

Kita mengharapkan pendidikan yang maju, output yang berkualitas. Akan tetapi, unsur utama dunia pendidikan yakni guru tidak memiliki jaminan keselamatan takkala menjalankan profesinya. Guru selalu kalah ketika dihadapkan pada persoalan HAM anak, sementara disisi lain sikap dan prilaku anak melebihi batas-batas kenormalan atau tidak bisa dikontrol secara persuasif sehingga perlu didisiplinkan dengan cara yang lebih keras.

Keras sebenarnya boleh dilakukan, yang tidak bisa adalah kasar. Saat ini banyak orang tua siswa yang tidak dapat membedakan tindakan yang keras dan tindakan yang kasar. Akibatnya, guru semakin berhati-hati dalam bertindak, bahkan banyak guru masa bodoh atas ketimpangan prilaku siswa. Kembali lagi yang rugi adalah siswa, orang tua siswa dan dunia pendidikan secara umum.

Haruskah kita terjebak pada ketidaksadaran orang tua siswa dalam memahami persoalan dunia pendidikan? Apakah kita ingin mendudukkan siswa sebagai raja bukan sebagai yang perlu di bina? Kalaulah guru belum mendapatkan perhatian terutama jaminan keselamatan atas profesinya maka dunia pendidikan kita akan terus merosot secara kualitas. Dunia pendidikan hanya melahirkan generasi-generasi parasit, generasi yang tidak memiliki masa depan. Maukah kita menitipkan bangsa dan negara ini kepada mereka?

Artikel keren lainnya:

Yang terlupakan di sekolah

Prestasi mungkin itulah yang di kejar oleh semua sekolah. Sejumlah rencana di programkan dalam bentuk pembinaan, guru-guru didorong untuk membina siswa-siswa yang memiliki prestasi.  Sederet piala menghiasi pundi-pundi sekolah. Tidak sedikit dana sekolah habis untuk merebut piala, apakah sekolah demikian dapat disebut berprestasi?

Ada banyak indikator yang menjadi ukuran keberhasilan sebuah sekolah. Gelar juara yang diraih hanya satu dari sekian indikator, banyak sekolah terjebak pada indikator ini, mereka lupa bahwa sejumlah siswa juga berhak mendapatkan pembinaan seperti siswa yang bermasalah, siswa yang tidak tuntas raihan kompetensi, atau siswa yang memiliki kecerdasan dibawah standar.

Akibatnya, ada sekolah yang memiliki prestasi luar biasa di semua ajang lomba, namun di sisi lain rendah dalam hal capaian akreditasi lulusan. Inilah yang harus disadari oleh pihak sekolah, pembinaan prestasi tidak berbarengan dengan penuntasan kompetensi lulusan bagi keseluruhan siswa.

Seharusnya, prestasi yang tinggi diikuti rata-rata capaian kompetensi lulusan yang tinggi pula. Apabila kedua capaian ini dapat diraih maka itulah yang disebut dengan sekolah yang berprestasi, jadi sekolah yang berprestasi adalah sekolah yang memiliki indeks prestasi tinggi dengan rata-rata pencapaian kompetensi lulusan yang tinggi.

Artikel keren lainnya: