Guru sebaiknya menerapkan prinsip “praduga tak bersalah”
terhadap siswa. Guru jangan cepat memutuskan bahwa tidak tuntasnya nilai siswa
adalah akibat siswa tidak belajar sehingga dikatakanlah “siswa terlalu bodoh”.
Guru perlu melakukan beberapa tindakan agar mendapatkan informasi akurat
sehubungan dengan nilai siswa yang tidak tuntas. Apa saja tindakan dimaksud?
1. Memeriksa kembali alat ukurnya
Alat ukur yang digunakan haruslah baik, alat ukur biasanya
berhubungan dengan tes (mengerjakan soal-soal) dan non tes(tanya jawab).
Alat ukur yang baik memperhatikan beberapa persyaratan
seperti mengadakan diagnosisi terhadap kesulitan belajar siswa, mengevaluasi
celah antara bakat dengan pencapaian, menaikkan tingkat prestasi,
mengelompokkan siswa dalam kelas pada waktu metode kelompok, merencanakan
kegiatan proses belajar mengajar untuk siswa secara perseorangan, menentukan
siswa mana yang memerlukan bimbingan khusus dan menentukan tingkat pencapaian
untuk setiap anak.
Sedangkan urutan langkah penyusunan tes dilakukan dengan
menentukan tujuan mengadakan tes, mengadakan pembatasan terhadap bahan yang
akan di teskan, merumuskan tujuan instruksional dari tiap bagian bahan sekarang
yang diperhatikan adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kemudian
dalam menyusul soal yang akan diteskan harus memperhatikan aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik.
2. Kompetensi penilai
Kesalahan pada waktu melakukan penilaian lebih banyak
disebabkan oleh faktor subyektif penilai. Banyak hal yang dapat mempengaruhi
obyektifitas penilai seperti tulisan yang jelek, tidak jelas, gangguan pada
saat memeriksa hasil tes dan lain sebagainya. Selain itu terdapat kecenderungan
penilai untuk memberikan nilai secara murah atau mahal.
Tidak ada kesepakan umum yang dijadikan ukuran pemberian
nilai, misalnya ketika menemukan jawaban salah, ada guru yang memberi nilai
secara cuma-cuma misalnya “2” dengan alasan “harga tinta”. Faktor
“hallo-effect” juga dapat mempengaruhi penilai, faktor ini berhubungan dengan
kesan penilai terhadap siswa. Misalnya ada siswa yang miliki kedekatan dengan
guru karena sering “disapa”.
Pengaruh guru terhadap hasil perolehan nilai siswa
sebelumnya juga tidak dapat dianggap remeh, pengaruh ini kadang dapat menutup
mata guru memberi nilai dengan asumsi bahwa siswa tersebut memiliki kemampuan
minimal sama dengan yang diraihnya pada tes sebelumnya dan ini banyak terjadi
dikalangan guru, padahal hasil yang diperoleh siswa belum tentu sama dengan hasil
yang diperoleh sebelumnya sebab berbeda SK dan KD.
3. Faktor kejiwaan anak saat pelaksanaan penilaian
Siswa juga memiliki perasaan dan suasana hati, bisa saja
terjadi kalut, sedih atau tertekan pada waktu pelaksanaan penilaian. Suasana
seperti ini dapat berpengaruh pada kesiapan mental siswa mengikuti proses
penilaian. Suasana hati gembira, cerah dan ceria akan memberikan hasil yang
baik.
Hasil penilaian juga dipengaruhi oleh keadaan fisik. Kepala
pusing, perut mulas, lapar, lelah, apalagi sakit gigi dapat mempengaruhi cara
kerja siswa memecahkan masalah karena konsentrasi siswa menjadi terganggu
sehingga tidak fokus dalam mengerjakan soal-soal atau dalam mengikuti
pelaksanaan penilaian.
4. Situasi tempat penilaian
Pada waktu ujian nasional biasanya ada tulisan “harap
tenang, ada ujian”. Tulisan ini ditujukan agar tidak menimbulkan kegaduhan,
keributan baik didalam maupun di luar ruangan karena akan mengganggu
konsentrasi siswa yang sedang mengikuti ujian.
Demikian pula dengan tingkah
laku siswa lain yang ada dalam kelas ujian, kadang hanya main-main, terlalu
tegang, dan kadang ada siswa yang membaca soal dengan suara besar dapat
mempengaruhi siswa dalam mengerjakan soal.
Pengaruh lainnya datang dari
pengawas, pengawas yang terlalu ketat tidak akan disenangi oleh siswa yang suka
menyontek, sebaliknya pengawas yang longgar juga dapat membuat jengkel siswa
yang memiliki kedisiplinan yang tinggi dan rasa percaya diri pada kemampuannya
mengerjakan soal.
Dengan memperhatikan keempat poin di atas, pemberian predikat
“bodoh” terhadap siswa tidak tepat. Kecuali guru telah memperhatikan empat
tindakan tersebut sebelum melakukan penilaian, itupun bukan “bodoh” melainkan
“belum tuntas”, artinya apabila ada siswa yang belum tuntas maka tugas guru
adalah melaksanakan program remedial, yang diremedial adalah materi-materi yang
belum dituntaskan oleh siswa tersebut.
Belum ada tanggapan untuk "Dapatkah siswa dikatakan “bodoh” setelah penilaian. Ini alasannya!"
Post a Comment