Beranda · Artikel · Motivasi · Merdeka Belajar · Bahan Ajar · PTK · Pembelajaran

Prinsip-prinsip Interaksi Edukatif


Interaksi edukatif adalah sebuah interaksi yang tidak pernah sepi dari masalah. Dalam rangka menjangkau dan memenuhi sebagian besar kebutuhan anak didik, dikembangkan beberapa prinsip dalam interaksi edukatif. Prinsip-prinsip itu diharapkan mampu menjembatani dan memecahkan masalah yang sedang guru hadapi dalam kegiatan interaksi edukatif. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

a) Prinsip motivasi
Dalam interaksi edukatif tidak semua anak didik termotivasi untuk bidang studi tertentu. Motivasi anak didik untuk menerima pelajaran tertentu berbeda-beda, ada anak didik yang memiliki motivasi yang tinggi, ada yang sedang, dan ada sedikit sekali memiliki motivasi yang tinggi. Hal ini perlu disadari oleh guru agar dapat memberi motivasi yang bervariasi kepada anak didik.

b) Prinsip berangkat dari persepsi yang dimiliki
Setiap anak didik yang hadir di kelas memiliki latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Menyadari akan hal ini guru dapat memanfaatkannya guna kepentingan pengajaran. Kebingungan yang guru hadapi di antaranya disebabkan oleh penjelasan guru yang sukar dipahami oleh sebagian besar anak didik. Hal ini terjadi karena penjelasan guru yang mengabaikan pengalaman dan pengetahuan yang bersifat apersepsi dari setiap anak didik.

c) Prinsip mengarah kepada titik pusat perhatian tertentu atau fokus tertentu
Pelajaran yang direncanakan dalam suatu bentuk atau pola tertentu akan mampu mengaitkan bagian-bagian yang terpisah dalam suatu pelajaran. Tanpa suatu pola, pelajaran dapat terpecah-pecah dan anak didik akan sulit memusatkan perhatian. Titik pusat dapat tercipta melalui upaya merumuskan masalah yang hendak dipecahkan, merumuskan pertanyaan yang hendak dijawab, atau merumuskan konsep yang hendak ditemukan.

d) Prinsip keterpaduan
Salah satu sumbangan guru untuk membantu anak didik dalam upaya mengorganisasikan perolehan belajar adalah penjelasan yang mengaitkan antara suatu pokok bahasan dengan pokok-pokok bahasan yang lain dalam mata pelajaran yang berbeda. Dengan begitu, bahan pelajaran dari setiap pokok bahasan yang diberikan oleh guru dapat dengan mudah diorganisasikan oleh anak didik, sehingga menjadi padu.

e) Prinsip pemecahan masalah yang dihadapi
Masalah perlu pemecahan, bukan dihindari. Menghindari masalah sama halnya tidak mau membina diri untuk terbiasa memecahkan masalah. Namun begitu, masalah jangan dicari. Mencari masalah sama halnya dengan mengundang masalah.

f) Prinsip mencari, menemukan, dan mengembangkan sendiri
Anak didik sebagai individu pada hakikatnya mempunyai potensi untuk mencari dan mengembangkan dirinya. Lingkunganlah yang harus diciptakan untuk menunjang potensi anak didik tersebut. Dalam upaya ini guru tidak perlu berdaya upaya menjejali anak didik dengan segudang informasi, sehingga membuat anak didik kurang kreatif dalam mencari dan menemukan informasi ilmu pengetahuan yang ada dalam buku-buku bacaan

g) Prinsip belajar sambil bekerja
Belajar secara verbal terkadang kurang membawa hasil bagi anak didik. Karena itulah dikembangkan konsep belajar secara realistis, atau belajar sambil bekerja (learning by doing). Belajar sambil melakukan aktivitas lebih banyak mendatangkan hasil bagi anak didik, sebab kesan yang diperoleh anak didik lebih tahan lama tersimpan di dalam benak anak didik.

h) Prinsip hubungan sosial
Dalam belajar tidak selamanya anak didik harus seorang diri, tetapi sewaktuwaktu anak didik harus juga belajar bersama dalam kelompok. Konsepsi belajar seperti ini dimaksudkan untuk mendidik anak terbiasa bekerja sama dalam kebaikan.

i) Prinsip perbedaan individual
Ketika guru hadir di kelas, guru akan berhadapan dengan anak didik dengan segala perbedaannya. Perbedaan ini perlu guru sadari, sehingga guru tidak akan terkejut melihat tingkah laku dan perbuatan anak didik yang berlainan antara satu dengan yang lainnya.

Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Artikel keren lainnya:

Ciri-ciri Interaksi yang mengandung nilai Edukatif


Sebagai interaksi yang bernilai normatif, maka interaksi edukatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 

1) Interaksi edukatif mempunyai tujuan
Tujuan dalam interaksi edukatif adalah untuk membantu anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian, sedangkan unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung.

2) Mempunyai prosedur yang direncanakan untuk mencapai tujuan
Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda-beda.

3. Interaksi edukatif ditandai dengan penggarapan materi khusus
Dalam hal materi harus didesain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponenkomponen pengajaran yang lain. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif.

4) Ditandai dengan aktivitas anak didik
Sebagai konsekuensi, bahwa anak didik merupakan sentral, maka aktivitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif. Aktivitas anak didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).

5) Guru berperan sebagai pembimbing
Dalam peranannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru lebih baik bersama anak didik sebagai desainer akan memimpin terjadinya interaksi edukatif.

6) Interaksi edukatif membutuhkan disiplin
Disiplin dalam interaksi edukatif diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur menurut ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh pihak guru maupun pihak anak didik, mekanisme konkret dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib itu akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Jadi, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu indikator pelanggaran disiplin

7) Mempunyai batas waktu
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan harus sudah tercapai.

8) Diakhiri dengan evaluasi
Dari seluruh kegiatan tersebut, masalah evaluasi merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi harus guru lakukan untuk mengetahui tercapai atau tidak tujuan pengajaran yang telah ditentukan

Artikel keren lainnya:

Mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) dalam era revolusi industri 4.0

Pendidikan merupakan wadah awal dalam memulai proses belajar. Wadah atau tempat yang menaungi pendidikan biasanya disebut dengan lembaga. Lembaga terdiri dari pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal biasanya terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTS), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Kejuruan. Sedangkan pendidikan non formal biasanya lebih menekankan pada aspek pengembangan seperti les atau privat. Pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan sistem dalam penerapannya seperti perubahan kurikulum, dari KTSP hingga menjadi Kurikulum 2013.

Tindakan atau perubahan ini dilakukan bukan menjadi bahan cobaan pemerintah, namun dilakukan perubahan ini sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan di sini adalah perkembangan pendidikan yang sudah memasuki era keterbukaan atau era globalisasi. Era keterbukaan atau era globalisasi ditandai dengan mudah mendapatkan informasi melalui media atau teknologi. Teknologi dalam abad era globalisasi sering disebut dengan era digital atau era revolusi industri 4.0 yang mengharapkan sumber daya manusia berkualitas atau memiliki keterampilan. 

Era revolusi industri 4.0 menjadi tantangan atau hambatan bagi suatu lembaga namun sebaliknya mampu menjadi pembantu dalam menciptakan intelektual yang cerdas demi mewujudkan citacita bangsa yaitu membelajarkan manusia.

Menjadikan manusia pembelajar bukan hal mudah seperti membalikkan telapak tangan. Oleh karenanya, lembaga yang sukses adalah lembaga yang mampu menyeimbangkan pendidikan dengan perkembangan zaman. Mengembangkan pendidikan dalam abad keterbukaan (century of opennes) bukan perkara mudah seperti memberikan inspirasi. Demikian perlu penginovasian untuk menyetarakan antara pendidikan era revolusi industri 40 dengan karakter.

Akhir-akhir ini sering terjadi kasus kekerasan terhadap anak termasuk di sekolah. Berdasarkan penelitian beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan oleh UNICEF membuktikan bahwa sekitar 80% masih rawan kekerasan di lingkungan sekolah yang dilakukan pendidik kepada siswa. Perihal ini sangat mengejutkan oleh para ahli pendidikan. Dalam tataran pendidikan, sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi anak didik. Namun realita yang terjadi di beberapa sekolah masih banyak kekerasan yang dilakukan pendidik terhadap siswa di lingkungan sekolah. 

Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, namun dalam keluarga sekalipun dapat terlihat dari beberapa kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan selalu anak menjadi korban. Kejadian ini akan mengakibatkan penurunan karakter pada anak, seperti anak akan keras kepala atau berkarakter keras, pemarah, bahkan akan acuh tak acuh dalam melakukan sesuatu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penginovasian dalam suatu lembaga termasuk sekolah. 

Pendidikan di sekolah seharusnya menerapkan serta mengembangkan pembelajaran humanistik yang menekankan penciptaan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan dengan memperhatikan dan mengkolaborasikan potensi yang dimiliki anak sesuai dengan perkembangan fisik dan psikis jiwa. Bukan hanya di sekolah, di dalam lingkungan masyarakat harus mampu mengutamakan kasih sayang yang mengedepankan kenyamanan dan perlindungan terhadap anak.

Hal ini selaras dengan Undang-undang No. 23 Pasal 54 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa: “Anak wajib dilindungi dari berbagai tindakan kekerasan yang sering dilakukan dalam lingkungan masyarakat (orangtua) dan sekolah (guru, dan pengelola sekolah) serta lembaga pendidikan yang bersangkutan (formal dan non formal), agar mampu menciptakan ketenangan dan kenyamanan demi mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan.

Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa anak memiliki hak untuk hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat, martabat manusia serta harus mendapatkan perlindungan dari kekerasan atau diskriminasi orang dewasa (guru dan lapisan masyarakat). Untuk merealisasikan undang-undang di atas maka diperlukan inovasi baru, yaitu dengan sekolah ramah anak (SRA), yang diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan tenang untuk mampu mengembangkan minat, bakat serta potensi yang dimilki anak didik sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan era revolusi industri 4.0. 

Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan inovasi terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengefektifkan proses pembelajaran. Dalam tataran pendidikan, menciptakan suasana belajar ramah anak tidak mudah, karena sekolah harus memiliki indikator-indikator yang harus dipenuhi, agar dapat pengakuan sebagai sekolah ramah anak. Sekolah ramah anak harus diterapkan pada pendidikan awal terlebih dahulu, karena pendidikan dasar akan menjadi penentu nantinya dalam pendidikan selanjutnya yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipahami dalam mewujudkan sekolah ramah anak yaitu: Anak terlibat aktif dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan masa depannya, keluarga dan lingkungan sekitar, memberikan hak-hak anak dalam menopang perkembangan dan pertumbuhan untuk mengembangkan potensinya, memberi ruang bagi anak dengan cara mengadakan sarana prasarana untuk bermain, berinteraksi serta berkreasi dengan teman-teman sejawatnya dan guru harus mampu menjamin kenyamanan, serta menanamkan menghargai perbedaan pendapat (ras, suku, budaya dan agama). Sedangkan dalam pendidikan Islam, pendidikan ramah anak lebih berfokus pada ikatan cinta dan kasih sayang yang mengedepankan kebersamaan bukan perkelahian.

Daftar Pustaka

Yusrizal, Intan Safiah, and Nurhaidah, “Kompetensi Guru Dalam Memanfaatkan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Di SD Negeri 16 Banda Aceh,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Unsyiah 2, no. 2 (2017): 126–134. 

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 1st ed. (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 5.

Imam Abdul Syukur, “Profesionalisme Guru Dalam Mengimplementasikan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di Kabupaten Nganjuk,” Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan 20, no. 2 (2014): 200–210. 

Sukaca Bertiani and Hariwijaya, PAUD: Melejitkan Potensi Anak Dengan Pendidikan Sejak Dini (Yogyakarta: Mahadika Publishing, 2009), hlm. 15.

Kholid Musyaddad, “Problematika Pendidikan Di Indonesia,” Journal Education and Biology 4, no. 1 (2013).

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, 2007. 

Misnatun, “Pola Pembentukan Karakter Anak Melalui Pendidikan Ramah Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam,” Tadarus: Jurnal Pendidikan Islam 5, no. 2 (2006): 1–19.

Artikel keren lainnya:

Keterampilan Abad 21 dan Kurikulum 2013

Pembicaraan mengenai keterampilan Abad 21 merupakan kajian yang luas. Sehingga, untuk memberikan indikator yang dimaksud tidaklah mudah. Beberapa pemikir dan stakeholders terkait, mempunyai konstruksinya tersendiri mengenai keterampilan Abad 21. Di antara dokumen berkaitan dengan isu tersebut adalah ATCS (assesment and teaching for 21st century skills). Dokumen ini dibuat gabungan Perusahaan Cisco, Intel and Microsoft dan telah launching di London pada acara Learning and Technology World Forum 2009. Dokumen itu sendiri disiapkan oleh Marilyn Binkley, Ola Erstad, Joan Herman, Senta Raizen, Martin Ripley with Mike Rumble. Mereka semua adalah para peneliti dan penulis internasional yang mempunyai kapasitas di bidang keilmuan masing-masing. ATCS menyimpulkan bahwa ada empat kelompok atas keterampilan Abad 21. Sayangnya indikator yang telah mereka buat tidak boleh dikutip karena alasan tertentu. 

Dokumen mengenai Keterampilan Abad 21 sebagai hasil kajian ahli yang tidak dilarang untuk dikutip adalah milik Partnership for 21st Century Skills. Tidak kalah dengan ATCS, beberapa member dalam Partnership for 21st Century Skills adalah Adobe, Apple, at&t, Blackboard, en@, intel, Lenovo, polyvision, Microsoft dan beberapa perusahaan internasional lain. Menurut mereka, keterampilan Abad 21 terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah keahlian berinovasi dan belajar yang mencakup berpikir kritis sekaligus memecahkan masalah, kreatif sekaligus inovasi dan komunikasi sekaligus kolaborasi. Kedua adalah keterampilan berkaitan dengan informasi, media dan teknologi yang meliputi literasi informasi, literasi media dan literasi ICT (Information, Communications & Technology). Ketiga adalah keterampilan hidup dan karir yang meliputi fleksibilitas sekaligus adaptabilitas, inisiatif sekaligus self direction, keterampilan sosial sekaligus lintas budaya, produktivitas sekaligus akuntabilitas, kepemimpinan sekaligus responsibilitas. 

Tantangan keterampilan Abad 21 dalam penelitian ini tidak hanya dilihat sebagai target yang akan direspon melalui pelaksanaan K-13, tetapi juga khususnya keterampilan ini sebenarnya bisa digunakan untuk menghidupkan sikap spiritual dalam pembelajaran IPA. Alasan mengapa keterampilan Abad 21 justru harus digunakan untuk menghidupkan sikap spiritual adalah berlandaskan pada semangat K-13 itu sendiri. Dalam landasan teoretis dan filosofisnya, K-13 meniscayakan pencapaian integratif atas beberapa kompetensi sekaligus, yakni kompetensi sikap spiritual dan sosial, kompetensi pengetahuan dan kompetesi keterampilan. Di samping itu, upaya penajaman rasa sikap spiritual ini juga dalam rangka melaksanakan amanat perundang-undangan, yakni mengantarkan peserta didik mempunyai akhlak yang mulia.

Merupakan sesuatu yang sangat memungkinkan untuk mengoperasionalkan keterampilan Abad 21 sebagai sarana implementasi sikap spiritual dalam pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kompetensi yang telah disusun oleh K-13 bagi pendidikan. Sebagai pembacaan awal, kompetensi pengetahuan dan ketrampilan mencirikan pemenuhan kebutuhan keterampilan Abad 21 seperti memecahkan masalah karena pembelajarannya memerintahkan peserta didik untuk melakukan inkuiri. Kemampuan menanya mencirikan keterampilan Abad 21 untuk berpikir kritis. Mengasosiasi dalam mencirikan keterampilan Abad 21 untuk berkomunikasi. Bersikap ilmiah seperti kerjasama dan tanggungjawab mencirikan keterampilan Abad 21 untuk berkolaborasi.

Daftar pustaka
Marilyn Binkley dkk., Draft White Paper 1: Defining 21stCentury Skills, diakses 12 Mei 2019, https://oei.org.ar/ibertic/evaluacion/sites/default/files/biblioteca/24_defining21st-century-skills.pdf.

Partnership for 21st century Skill, 21stCentury Skills: How can you prepare students for the new Global Economy? (Paris: OECD/CERI, 2008), https://www.oecd.org/site/educeri21st/40756908.pdf.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti Dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), hlm. 43.

Artikel keren lainnya:

Paradigma Integrasi Interkoneksi Bagi Kurikulum 2013

Dalam bahasa sederhananya, istilah integrasi berasal dari kata kerja berbahasa Inggris to integrate yang artinya adalah “to join to something else so as to form a whole” (menggabungkan kepada sesuatu yang lain sehingga terciptalah keterpaduan/keseluruhan).  Istilah integrasi ilmu pengetahuan berarti menggabungkan beberapa disiplin ilmu menjadi satu. Sementara itu, istilah paradigma bisa dimaknai sebagai sekumpulan anggapan tentang bagaimana seseorang melihat, memahami dan menerima fenomena. Suatu paradigma digunakan seseorang untuk memecah/memilah kompleksitas dunia agar mudah dipahami. Tujuannya adalah agar seseorang tersebut mudah membedakan dari fenomena tersebut manakah yang sah dan manakah yang masuk akal. Dengan demikian, integrasi sebagai paradigma akan digunakan untuk melihat eksistensi dan realita pemberlakuan K-13 

Dalam sejarahnya, upaya melakukan integrasi keilmuan dilatarbelakangi karena adanya dikotomisasi ilmu pengetahuan yang justru merugikan umat manusia. Dikotomisasi ilmu agama dan ilmu umum di Indonesia telah menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan tidak sehat dan juga menyebabkan ilmu agama tidak berkontribusi bagi umat manusia. Oleh sebab itulah integrasi keilmuan sangat diperlukan. Dalam perkembangan kajian integrasi keilmuan, sebenarnya terdapat banyak model integrasi keilmuan. Salah satunya adalah islamisasi ilmu. Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang awalnya digagas oleh Naquib Al-Attas dari Malaysia dan kemudian diteruskan menjadi gerakan intelektual internasional dengan dipimpin oleh Ismail Raji Al-Faruqi dari lembaga pemikiran Islam internasional di Amerika Serikat menjelang 1980-an.

Model lain adalah sebagaimana yang dikembangkan oleh Amin Abdullah dengan istilah integrasi-interkoneksi. Secara istilah, interkoneksi berarti menghubungkan beberapa hal. Jika dibandingkan dengan model integrasi yang lain, integrasiinterkoneksi termasuk model penyatuan keilmuan yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu lain dengan tidak meninggalkan sifat kritis.  Artinya walaupun terdapat penyatuan dari beberapa ilmu, identitas keilmuan masing-masing ilmu tersebut masih kelihatan eksistensinya. Peleburan ini tidak benarbenar pelumatan menghilangkan sifat asli partikel keilmuan yang digabungkan. Setiap ilmu sekadar memberikan kontribusi karakteristiknya masing-masing untuk membentuk satu keterpaduan dalam tema tertentu.

Dalam pemberlakuan K-13, penggunaan paradigma integrasi interkoneksi ini sebenarnya sangat bisa dirasakan. Ini bisa dilihat terutama dalam pendidikan tingkat sekolah dasar. K-13 mengatur bahwa penyampaian materi untuk SD/MI menggunakan pendekatan tematik integratif dari kelas 1 sampai kelas VI. Pembelajaran tematik-integratif sering disebut dengan istilah pembelajaran terpadu atau integrated teaching and learning. Eksistensi pelaksanaan pembelajaran tematik-integratif dalam K-13 ini ditunjukkan dengan sistem pembelajaran yang memadukan satu atau beberapa mata pelajaran dari suatu pokok bahasan dan konsep tertentu ke dalam satu tema tertentu secara terencana.  

Dalam satu tema, materi yang disampaikan sebenarnya terdiri dari beberapa mata pelajaran. Pembelajaran tematik integratif dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran berupaya mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema. Pengintegrasian tersebut dilakukan dalam kompetensi dan konsep dasar sekaligus. Dalam kompetensi, terdapat integrasi sikap spiritual, sikap sosial, keterampilan, dan pengetahuan. Sementara dalam konsep dasar, proses pembelajaran akan mengintegrasikan beberapa proposisi dasar setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan tema yang ditentukan. Keterpaduan dengan menggunakan tema ini akan menghubungkan satu persoalan dengan persoalan lainnya, sehingga keterpaduan tersebut akan membangun kesatuan (unity) pengetahuan. 

Alasan lain mengatakan bahwa pelaksanaan K-13 untuk tingkat sekolah dasar yang berprinsipkan tematik-integratif tersebut sesuai dengan paradigma integrasi-interkoneksi adalah sifat perpaduan (integrasi) beberapa materi pelajaran dalam satu tema tersebut bukan benar-benar melumat atau menghilangkan karakteristik mata pelajaran tersebut. Setiap mata pelajaran bisa dipertahankan karakteristiknya masing-masing sehingga kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran dalam satu tema tetap dapat dibedakan dengan mata pelajaran lain. Perpaduan seperti inilah yang dimaksud dengan integrasi-interkoneksi, yakni model penyatuan keilmuan yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu lain. 

Melalui pola ini, aspek sikap/perilaku, keterampilan, dan pengetahuan dapat diperoleh secara komprehensif dan integratif dalam satu pokok tema pembahasan yang disampaikan dalam waktu dan proses belajar mengajar yang bersamaan. Inilah sekian landasan teoretis mengapa begitu urgensinya mengembangkan KD sikap spiritual dalam materi IPA Kelas VI. Meskipun materi IPA berkaitan dengan procces scientis, tetapi keberadaan spiritual tidak bisa diremehkan. Sesuai dengan karakteristik K-13, sikap spiritual juga harus ditanamkan kepada siswa sebagaimana kompetensikompetensi yang lain.

Pustaka

Asfiati. Pendekatan Humanis dalam Pengembangan Kurikulum. Medan: Perdana Publishing, 2016.

Riyanto, Waryani Fajar. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Intelektual M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Suka Press, 2013

M.Q. Patton, Qualitative Evaluation and research Methods, C.A: Sage, Newburk Park, 1990 dalam Erlyn Indrti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah telaah Filsafat Hukum, Pidato pengukuhan guru besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada 4 November 2010, hlm 15. 

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 96–97. 

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 7. 

Subroto dan Herawati, Pembelajaran Terpadu: Materi Pokok PGSD (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2004), hlm. 19

Hartono, Pendidikan Integratif (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 57. 

Suyanto dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global (Jakarta: Esensi (Erlangga Group), 2013), hlm. 252.

Artikel keren lainnya:

10 Prinsip Pembelajaran Humanistik menurut para Ahli

Budiningsih (2005) berpendapat bahwa proses belajar hendaknya dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan aspek humanistik merupakan aspek yang penting dalam setiap proses pembelajaran. 

Junaedi dan Asikin (2012) mengungkapkan bahwa pada saat implementasi pembelajaran humanistik, aktivitas peserta didik terlihat dalam kondisi baik yang ditunjukkan dengan terlatihnya peserta didik sebagai penemu, bukan hanya penerima fakta-fakta dan prosedur-prosedur, peserta didik memperolah kesempatan belajar untuk saling membantu dan dapat belajar berbagai macam cara dalam menyelesaikan masalah. 

Menurut Rogers (Dalyono, 2012) ada sejumlah prinsip-prinsip pembelajaran humanistik yang penting, diantaranya ialah: 
  1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. 
  2. Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan peserta didik mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri. 
  3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri, dianggap mengancam dan cenderung ditolaknya. 
  4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. 
  5. Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. 
  6. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya. 
  7. Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu. 
  8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. 
  9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas lebih mudah dicapai apabila peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri, sedangkan penilaian orang lain merupakan cara kedua yang penting. 
  10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu.


Artikel keren lainnya:

Sinematografi dan Implementasinya dalam Pembelajaran

Cinematography atau sinematografi berasal dari bahasa Yunani, kinema yang berarti bergerak dan grapoo yang berarti merekam. Jadi sinematografi berarti merekam gambar yang bergerak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam sinematografi dipelajari kegiatan membuat gambar yang bergerak (film) untuk mengemukakan maksud tertentu. 

Dalam pembuatan film tidak hanya dipelajari merekam setiap adegan, tetapi juga cara mengatur pengambilan jarak, ketinggian, sudut, dan lama pengambilan gambar dengan kesan visual yang tidak monoton. Sinematografi dalam tulisan Abdillah dan Mustaji dimaknai sebagai gerakan yang digarap dan dikonsep dari pencahayaan dan pengambilan gambar fotografi untuk layar lebar. Dengan demikian sinematografi ialah sebuah karya yang bercerita melalui piranti audio visual atau film (Abdillah dan Mustaji, 2012:1). 

Media video atau film memiliki karakteristik meningkatkan efektifitas dan efesiensi proses pembelajaran. Berikut karakteristik media video atau film yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran, yakni mengatasi jarak dan waktu; mampu menggambarkan peristiwaperistiwa masa lalu secara realistis dalam waktu yang singkat; dapat membawa peserta didik berpetualang melalui pengalaman yang terekam; dapat diulang untuk menambah kejelasan; pesan yang disampaikannya cepat dan mudah diingat; mengembangkan pikiran dan imajinasi peserta didik; memperjelas hal-hal yang abstrak dan memberikan penjelasan yang lebih realistik; mampu berperan sebagai media utama untuk mendokumentasikan realitas sosial yang akan dibedah di dalam kelas; dan mampu berperan sebagai storyteller (pemberi cerita) yang dapat memancing kreativitas peserta didik dalam mengekspresikan gagasannya. (Munadi, 2008:127). 

Memproduksi Iklan yang Menarik 

Iklan dinamai dengan istilah yang berbeda-beda, di Amerika dan Inggris disebut advertising dari bahasa latin advere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Di Prancis disebut reclamare yang berarti meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Widyatama, 2009:13-14). Sementara bangsa Arab menyebut I’lan, yang di lidah orang Indonesia dilafalkan menjadi iklan. Liliweri dalam Widyatama (2009:15) memaknai iklan sebagai suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting dalam pemasaran; menjual barang, memberikan layanan, ide melalui saluran tertentu secara persuasif. 

Tujuan beriklan adalah penggunaan dan jasa, serta informasi layanan. Karenanya, iklan dibagi menjadi dua kategori yaitu iklan komersial atau bisnis dan iklan nonkomersial. Iklan komersial bertujuan untuk meraih keuntungan yang setinggitingginya, sedangkan iklan nonkomersial bertujuan memberi informasi dan penjelasan kepada masyarakat (Hendy, 2009:72-73). Teknik penyajian iklan melalui pesan faktual, bukti ilmiah, demonstrasi, perbandingan kesaksian atau testimoni, cuplikan kehidupan, animasi, simbol personalitas, fantasi, (iklan ini cocok untuk jenis iklan video atau film), dramatisasi, humor, dan kombinasi yaitu penyampaian iklan dengan variasi berbagai penyajian. (Morissan, 2012:352-359). 

Berbagai penyajian dalam iklan ini dapat diperkenalkan kepada peserta didik sebagai referensi ketika akan berencana memproduksi iklan.

Artikel keren lainnya:

Model Pembelajaran Berbasis Projek

Pembelajaran dengan model ini berdasar pada asumsi bahwa pembelajaran akan berlangsung efektif ketika para peserta didik aktif membuat atau memproduksi suatu karya fisik yang dapat dihadirkan dalam dunia nyata atau artefak. 

Konsep ini berkembang dengan landasan teori pembelajaran aktif oleh John Dewey, yang terkenal dengan “Learning by Doing”, dan teori konstruktivisme oleh Jean Piaget. Selanjutnya teori tersebut dikembangkan oleh Seymour Papert yang mencetuskan model pembelajaran berbasis projek dengan konsep “Learning by Making” atau belajar dengan membuat sesuatu (Warsono dan Hariyanto, 2012:152-153). 

Secara umum ada tiga tahap dalam langkah pembelajaran berbasis projek. Tiga tahap tersebut meliputi tahap perencanaan (mengidentifikasi permasalahan, mencari sumber yang relevan, dan mempersiapkan sebuah pelaksanaan kerja dengan mengorganisasikan berbagai sumber informasi), tahap pelaksanaan atau penciptaan (mengembangkan gagasan terkait projek, menggabungkan gagasan dari anggota kelompok dalam kerja kolaboratif untuk mewujudkan projek yang telah dirancang), dan tahap evaluasi (mendiskusikan hasil karya dengan kelompok lain sebagai evaluasi dan refleksi). Pada tahap ini disusun sebuah laporan kerja hasil pelaksanaan projek (Warsono dan Hariyanto, 2012:156-157) 

Ketiga tahap atau langkah dalam model pembelajaran berbasis projek ini sinergis dengan langkah dalam pembuatan film yang terdiri atas tahap praproduksi, tahap produksi, dan tahap penyuntingan atau editing. Kesamaan ini dapat mendukung implementasinya dalam pembelajaran memproduksi iklan

Artikel keren lainnya:

Manfaatkan Buku Pop Up untuk meningkatkan hasil belajar dan prestasi belajar siswa

Buku Pop-up adalah buku yang memiliki bagian yang dapat bergerak atau gerak kinetik dan berunsur tiga dimensi. Buku Pop-up memberikan visualisasi cerita yang lebih menarik karena tampilan gambar yang terlihat lebih memiliki dimensi, kadang juga terdapat gambar yang dapat bergerak ketika halamannya dibuka atau bagiannya digeser sehingga bagian tersebut dapat berubah posisi. 

Taylor dan Bluemel (2003: vol. 22) menyebutkan bahwa buku Pop up merupakan “mechanical, movable books, [that] unfold and rise from the page to our surprise and delight”. Buku Pop up adalah konstruksi, pergerakan buku yang mucul dari halaman yang membuat kita terkejut dan menyenangkan. 

Membaca Pop Up Book dapat memberikan pengalaman khusus bagi siswa. Hal ini dikarenakan siswa terlibat dalam cerita tersebut seperti menggeser, membuka, dan melipat bagian Pop Up Book. Hal ini akan membuat kesan tersendiri kepada siswa sehingga akan lebih mudah masuk kedalam ingatan ketika menggunakan media ini. “Adding movement contributes yet another way for readers and non-readers to learn and enjoy. Hands-on and kinetic, movable and pop-up books combine hands and eyes, action and reaction, discovery and wonder.” (Van Dyk, 2010: 5).

Di negara – negara maju, buku pop up dapat dengan mudah ditemui. Buku pop up telah diproduksi secara massal dengan tehnik dan variasi yang modern. Di Indonesia, buku pop up baru dapat ditemukan di toko buku di kota-kota besar. Buku-buku tersebut biasanya didesain dengan visualisasi 3 dimensi yang menarik. Buku pop up di Indonesia sebagian besar merupakan buku impor. 

Menggunakan buku pop up sebagai salah satu sumber belajar siswa dapat meningkatkan hasil belajar dan prestasi belajar siswa karena menarik dan menyenangkan, apalagi misalnya merupakan gambaran topografi sebuah wilayah untuk pelajaran IPS. Untuk membuat buku pop up sangat mudah, banyak tersedia tutorial pembuatan buku pop up di internet. Bahkan sebagai guru, bisa menjadikan buku pop up sebagai tugas keterampilan kepada siswanya.

Buku pop up di dominasi oleh buku-buku dongeng, namun tidak menutup kemungkinan apabila diterapkan untuk pelajaran-pelajaran tertentu bahkan semua mata pelajaran.

Artikel keren lainnya:

5 Landasan Karakter Ekstrakurikuler di sekolah

Hakikat dari pendidikan karakter adalah pendidikan nilai. Hal tersebut karena karakter mengandung nilai-nilai baik yang khas (Kemendikbud, 2016: 17). Sumber-sumber pendidikan nilai pun dapat berasal dari berbagai hal, seperti Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia cukup representatif untuk dijadikan dasar dalam menanamkan nilai-nilai luhur yang bisa membentuk karakter anak bangsa. 

Lima pilar dalam Pancasila yang menjadi landasan karakter para peserta didik, yaitu 
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mampu melahirkan nilai religus; 
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang melahirkan nilai humanistis yang berorientasi pada hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial; 
  3. Persatuan Indonesia, yang dapat memupuk jiwa patriotisme dan nasionalisme yang terbingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika; 
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, yang mampu melahirkan etika kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis; serta 
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang diharapkan mampu mewujudkan sosok generasi muda yang peduli dan bersinergi dalam membangun kesejahteraan bagi bangsa (berjiwa sosial).  

Pendidikan karakter tidak hanya sekedar mengajarkan tentang pengetahuan karakter yang baik, lalu diberikan angka penilaian, namun bagaimana nilai-nilai karakter baik bisa dinternalisasikan melalui tindakan dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi sebuah kebiasaan baik yang melekat pada setiap anak. Ketika karakter hanya dijabarkan dalam nilai ‘angka’ maka akan menjadi sangat sempit. Itu akan mengakibatkan anak hanya melakukan kamuflase untuk memperoleh nilai tinggi, sementara di luar sistem penilaian anak kembali ke habitat aslinya karena tidak terbentuknya karakter secara sistemik, terintegrasi, dan komprehensif. 

Menyoroti hal tersebut, penguatan pendidikan karakter akan menjadi tidak efektif jika hanya dilakukan dalam ruang sempit (di kelas). Strategi alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya penguatan pendidikan karakter adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menjadi ruang untuk aktualisasi hingga pengembangan karakter.

Oleh karena itu, pendidikan karakter jangan hanya sebatas teori yang perlu diketahui oleh peserta didik (moral knowing), namun harus menjadi sesuatu bersifat aplikatif praktis sehingga perlu adanya wadah untuk mengimplementasikannya. Wadah dimaksud adalah organisasi ekstrakurikuler di sekolah misalnya Pramuka, Paskibra, PMR dan lain-lain

Artikel keren lainnya:

Model Pembelajaran Dagang Game

Dagang game adalah media simulasi untuk mempermudah siswa dalam memahami pencatatan jurnal umum dan jurnal khusus pada akuntansi usaha dagang. Media ini didesain secara cermat sehingga siswa mengalami sendiri apa yang terjadi pada saat transaksi, mengapa akun tersebut masuk di sebelah debet, mengapa di kredit. 


Aturan Dagang Game mirip dengan permainan Monopoly bedanya adalah, yang mereka beli dan jual adalah toko atau usaha dagang, tidak ada kotak dana umum dan kesempatan tetapi pandora box. Dalam pandora box terdapat kartu kartu berisi transaksi yang terjadi pada semua toko dan usaha dagang yang ada, ditambah retur pembelian, retur penjualan, berbagai beban yang timbul dan semua transaksi yang mungkin terjadi pada usaha dagang.

Pada permainan Dagang Game siswa dikelompokkan menjad 4 – 5 kelompok. Masing masing kelompok diberi satu set permainan Dagang Game yang terdiri dari satu set kartu Pandora Box, satu set kartu kepemilikan tanah, satu set kartu dadu dan satu set uang yang terdiri dari pecahan Rp. 10.000, Rp.50.000, Rp. 100.000, Rp.200.000, Rp.300.000, Rp. 500.000, Rp.1.000.000, Rp. 5.000.000. Semua uang dibuat dan dicetak sesuai dengan kebutuhan pencatatan dalam perusahaan dagang. 


Untuk mempermudah pemahaman transaksi yang terjadi di usaha dagang maka peran kartu pandora box yang berisi transaksi yang didesain sesuai dengan board Dagang Game sangat diperlukan.  



Artikel keren lainnya:

MICMAC CARD dan WORD SQUARE

Ekonomi merupakan ilmu tentang bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang bermacam-macam, dan berkembang dengan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan produksi, konsumsi, dan/atau distribusi. Keluasan ilmu ekonomi dan minimnya waktu yang tersedia dalam pembelajaran di sekolah membuat standar kompetensi dan kompetensi dasar terbatas dan fokus pada fenomena nyata ekonomi yang terjadi di lingkungan sekitar peserta didik, harapannya agar peserta didik dapat mengambil manfaat berdasarkan rekaman peristiwa ekonomi yang terjadi di sekitarnya untuk kehidupannya yang lebih baik. 

Mata pelajaran ekonomi merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang pendidikan di tingkatan formal. Mata pelajaran Ekonomi diberikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama sebagai satu kesatuan dalam mata pelajaran IPS. Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah atas (SMA), ekonomi diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. 

Strategi pembelajaran dengan media kartu (card) MicMac dan Word Square merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan peserta didik dalam materi pembagian ilmu ekonomi mikro dan makro di tingkat SMA pada Kompetensi Dasar (KD) 3.1, yakni mendeskripsikan konsep ilmu ekonomi dan Kompetensi Dasar 4.1, yakni menyajikan konsep ilmu ekonomi. 

Penggunaan media kartu (card) MicMac dan Word Square dalam penerapannya dipadukan dengan games (permainan). Kelebihan penerapan games dalam pembelajaran adalah: 
  1. Menghadirkan suasana belajar yang menyenangkan (Sato and de Haan, 2016); 
  2. Memunculkan atmosfir kompetitif, mengajarkan skills dalam memecahkan masalah (Rodkroh, Suwannatthachote, and Kaemkate, 2013); 
  3. Meningkatkan minat dan keaktifan peserta didik (Nancy A. Neef et al., 2011). 

Kartu (card) MicMac adalah kartu yang digunakan pada saat pembacaan studi kasus permasalahan ekonomi yang sedang hangat diperbincangkan. Dengan ini peserta didik mampu menghubungkan pengetahuan yang dipelajari dengan lingkungan atau dunia nyata di sekitar peserta didik. Sehingga hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. 

Kartu MicMac terdiri dari dua jenis kartu yakni kartu Micro dan kartu Macro. Tujuan digunakannya kartu ini adalah untuk mengidentifikasi jenis permasalahan ekonomi mikro atau permasalahan ekonomi mikro. Nama MicMac itu sendiri diambil masing-masing dari tiga huruf paling depan Micro dan Macro. Penggunaan media kartu dalam proses pembelajaran sudah tidak asing digunakan, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Hapsari, 2010; Wasilah, 2012; Nugraha et al., 2013). penelitian penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan media kartu dalam pembelajaran mampu meningkatkan minat, keaktifan dan hasil belajar peserta didik. 

Sedangkan Word Square merupakan salah satu jenis puzzle yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Mirip seperti mengisi teka-teki silang tetapi yang membuat berbeda adalah jawaban telah tersedia namun disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan dengan sembarang huruf penyamar atau pengecoh. Tujuan huruf pengecoh bukan untuk mempersulit peserta didik namun untuk melatih sikap teliti dan kritis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nancy A. Neef et al. (2011) perpaduan antara quiz atau puzzle dan sejenisnya dalam suasana games semakin meningkatkan jumlah jawaban benar, dibandingkan dengan tidak dalam suasana games. 

MicMac Card dan Word Square cukup mudah diterapkan dalam pembelajaran di kelas karena di awal pembelajaran guru memberikan penguatan materi dan penjelasan terkait konsep dan materi yang akan dipelajari, guru juga membuat latihan di awal, sehingga peserta didik terbiasa sebelum melakukan kegiatan. Pendampingan selama pembelajaran berlangsung diharapkan mampu membuat peserta didik tidak mengalami kesalahan yang sama. Pembelajaran diakhiri dengan diskusi untuk menghubungkan aktivitas yang telah dilakukan dengan kenyataan.  

Artikel keren lainnya: